CHAPTER 1:
MENANTI REGINE PULANG
MENANTI REGINE PULANG
"Cinta dan kasih sayang bukanlah semata diturunkan dari langit,
namun ia diciptakan oleh hati yang putih dan murni."
(Effendy Wongso)
namun ia diciptakan oleh hati yang putih dan murni."
(Effendy Wongso)
PROLOG
Halo, nama saya Regine. Saya biasa dipanggil Egi, singkat dan kedengarannya enak di kuping. Saya lahir di dalam keluarga yang terbilang cukup segala-galanya. Dan pada mulanya keluarga kami utuh serta bahagia, namun Tuhan berkehendak lain saat Ia memanggil Mama lewat penyakit kanker yang dideritanya. Beberapa saat setelah Mama meninggal, Papa memutuskan menikah dengan perempuan lain, serta memboyong putri tunggalnya, Mayangsari. Itulah ihwal lantaknya hubungan saya dengan Papa. Pada saat itulah saya merasakan dunia ini tidak indah lagi. Dunia remaja yang penuh dengan bunga kini berubah menjadi neraka. Yang ada hanya pertengkaran dan pertengkaran. Saya tidak dapat menerima kehadiran ibu baru dan adik baru dalam keluarga kami. Bagi saya, ibu tiri adalah tiran dalam persepsi saya. Namun benarkah demikian?! Bahwa penderitaan itu selalu bermuasal dari orang lain?! Sungguh saya tidak tahu. Yang pasti, pertengkaran itu telah membuat kami begitu menderita. Saya, setelah lari dari keluarga kami, tinggal serumah dengan Tante Lin, adik almarhumah Mama di luar kota. Namun sayang, pergaulan bebas membuat saya terpuruk dan hal itu menambah penderitaan saya. Ya, Allah! Saya memang telah bergelimang dosa. Lalu saya kembali ke rumah Papa setelah menyadari satu hal bahwa, cinta dan kasih sayang bukanlah semata diturunkan dari langit, namun ia diciptakan oleh hati yang putih dan murni.
Ya, hati yang putih dan murni!
Halo, nama saya Regine. Saya biasa dipanggil Egi, singkat dan kedengarannya enak di kuping. Saya lahir di dalam keluarga yang terbilang cukup segala-galanya. Dan pada mulanya keluarga kami utuh serta bahagia, namun Tuhan berkehendak lain saat Ia memanggil Mama lewat penyakit kanker yang dideritanya. Beberapa saat setelah Mama meninggal, Papa memutuskan menikah dengan perempuan lain, serta memboyong putri tunggalnya, Mayangsari. Itulah ihwal lantaknya hubungan saya dengan Papa. Pada saat itulah saya merasakan dunia ini tidak indah lagi. Dunia remaja yang penuh dengan bunga kini berubah menjadi neraka. Yang ada hanya pertengkaran dan pertengkaran. Saya tidak dapat menerima kehadiran ibu baru dan adik baru dalam keluarga kami. Bagi saya, ibu tiri adalah tiran dalam persepsi saya. Namun benarkah demikian?! Bahwa penderitaan itu selalu bermuasal dari orang lain?! Sungguh saya tidak tahu. Yang pasti, pertengkaran itu telah membuat kami begitu menderita. Saya, setelah lari dari keluarga kami, tinggal serumah dengan Tante Lin, adik almarhumah Mama di luar kota. Namun sayang, pergaulan bebas membuat saya terpuruk dan hal itu menambah penderitaan saya. Ya, Allah! Saya memang telah bergelimang dosa. Lalu saya kembali ke rumah Papa setelah menyadari satu hal bahwa, cinta dan kasih sayang bukanlah semata diturunkan dari langit, namun ia diciptakan oleh hati yang putih dan murni.
Ya, hati yang putih dan murni!
***
Tentang Mayangsari
Tak ada yang pernah tahu bagaimana getir kenangan itu.
Dibiarkannya airmata menitik setiap hal itu melintas mendadak dalam benaknya.
Dan tetap berharap, Regine akan datang dengan kedua tangan terpentang, lari ke arahnya lantas memeluknya.
Namun buliran waktu yang berdetak melalui himpunan detik seolah enggan menyapa. Hari demi hari. Bulan demi bulan. Semuanya berlalu tanpa terasa. Sudah dua tahun. Gadis itu tidak pernah datang. Menyimpan api dendam yang entah sampai kapan dapat padam.
Gadis itu baru juga genap tujuh belas
Beban hukuman yang disanksikan Papa semestinya belum pantas dipikulnya.
Dia sama sekali tidak sadar apa yang telah dilakukannya. Kehilangan orang yang sangat disayanginya memang telah melimbungkannya dalam lara berkepanjangan. Dia pun belum dapat menerima kasih sayang dari orang lain. Terlebih-lebih menyaksikan sepotong kasih dari Papa telah terbagi. Bukan lagi semata-mata untuknya!
Dia lari dengan membawa segumpal dendam. Terpuruk ke dalam kekhilafan yang tidak dapat dimaafkan. Tidak ada tempat lagi baginya untuk berpijak di dalam keluarganya sendiri, meski dia terlahir dari darah dan daging lelaki separo baya panutannya itu.
Dua tahun gadis itu menghilang. Pusaran waktu seolah menelannya. Dan tidak pernah memunculkannya kembali menyusuri kehidupan baru yang selama ini menjadi impiannya.
Lalu, ketika dia datang....
Tak ada yang pernah tahu bagaimana getir kenangan itu.
Dibiarkannya airmata menitik setiap hal itu melintas mendadak dalam benaknya.
Dan tetap berharap, Regine akan datang dengan kedua tangan terpentang, lari ke arahnya lantas memeluknya.
Namun buliran waktu yang berdetak melalui himpunan detik seolah enggan menyapa. Hari demi hari. Bulan demi bulan. Semuanya berlalu tanpa terasa. Sudah dua tahun. Gadis itu tidak pernah datang. Menyimpan api dendam yang entah sampai kapan dapat padam.
Gadis itu baru juga genap tujuh belas
Beban hukuman yang disanksikan Papa semestinya belum pantas dipikulnya.
Dia sama sekali tidak sadar apa yang telah dilakukannya. Kehilangan orang yang sangat disayanginya memang telah melimbungkannya dalam lara berkepanjangan. Dia pun belum dapat menerima kasih sayang dari orang lain. Terlebih-lebih menyaksikan sepotong kasih dari Papa telah terbagi. Bukan lagi semata-mata untuknya!
Dia lari dengan membawa segumpal dendam. Terpuruk ke dalam kekhilafan yang tidak dapat dimaafkan. Tidak ada tempat lagi baginya untuk berpijak di dalam keluarganya sendiri, meski dia terlahir dari darah dan daging lelaki separo baya panutannya itu.
Dua tahun gadis itu menghilang. Pusaran waktu seolah menelannya. Dan tidak pernah memunculkannya kembali menyusuri kehidupan baru yang selama ini menjadi impiannya.
Lalu, ketika dia datang....
***
CHAPTER 2:
JANGAN PERGI, KAK EGI!
JANGAN PERGI, KAK EGI!
Dihentikannya laju mobil. Daerah Kuningan tampak lengang ketika dia menepikan mobil di bahu jalan. Metropolitan seolah lelap dibuai bayu. Gedung-gedung pencakar langit di sana tampak tertidur dengan penerangan yang temaram. Sesaat disandarkannya pelan kepalanya di atas kemudi mobil. Dibiarkannya semilir angin basah membasuh wajahnya lewat kaca jendela yang sedari tadi dibiarkan terbuka setengah. Udara masih menyisakan partikel-partikel air. Sesekali terdengar tirisan air hujan dari rerimbunan pohon di tepi jalan yang menerpa atap mobil. Sebagian menerpa kaca mobil dengan irama yang teratur.
Jakarta masih membasah ketika dia melajukan mobilnya secepat kilat tadi. Diikutinya suara hati tanpa tujuan, dan berhenti setelah tangisannya meledak. Dia lelah menanti.
Dua tahun lalu dia berpikir hari-harinya akan berbunga. Mama telah menemukan kebahagiaannya sendiri. Takdir seolah mempertemukannya kembali dengan lelaki sahabat semasa remajanya dulu. Lelaki yang bernama Abraham Hans Waworuntu itu mempersuntingnya. Sekian belas tahun sejak kematian ayah kandungnya, sungguh, dia tidak pernah dapat merasakan lagi kasih sayang seorang ayah. Kebahagiaan itu pun membuncah ketika dia mengetahui bakal memiliki seorang kakak. Seorang kakak perempuan yang akan mengawal dan membimbingnya menjalani hari-harinya yang panjang. Sebagai putri tunggal dari Wulandari Pranoto dan almarhum Gunardi Pranoto, memiliki seorang kakak perempuan merupakan karunia Ilahi yang tak terhingga.
Sekelebat kenangan silam itu mendengung di kepalanya. Ada ultimatum dari gadis ringkih itu sebelum segalanya lantak. Bara dalam sekam itu telah menjadi api, membakar dan menghanguskan semua impian yang telah dibangunnya selama itu.
"Papa kejam!"
"Papa melakukan hal itu karena Papa sayang sama Kak Egi."
"Tidak! Tidak, May! Papa tidak adil! Papa tidak pernah adil!"
Satu lagi helaan napas panjang ketika rangkaian kisah berulang dalam alur yang sama. Selalu saja begitu. Padahal, dia ingin gadis itu hadir seutuhnya dalam keluarga mereka. Hadir sebagai saudara, mengisi kekosongan hari-harinya yang lalu. Namun semua impiannya hanya menjelma menjadi kenangan maya ketika gadis itu tetap bersikeras dengan keputusannya. Tidak pernah menganggap dia dan Mama masuk sebagai bagian dari kehidupannya yang baru.
Dua tahun berlalu dengan cepat. Menanti gadis itu pulang hanyalah usaha yang sia-sia. Namun dia masih saja tetap menanti.
"Papa tidak mau punya anak durhaka seperti dia!"
"Papa tidak dapat menghukumnya seberat itu."
"Hukuman itu belum setimpal dengan tindakan keterlaluan yang telah dia lakukan!"
"Kak Egi putri kandung Papa!"
"Papa lebih baik tidak punya anak seumur hidup ketimbang harus menanggung malu!"
"Ta-tapi...."
"Papa yang salah. Papa tidak dapat mendidiknya dengan baik"
"Tapi...."
"Sejak Lusiana meninggal tiga tahun lalu, dia berubah drastis. Papa tidak tahu harus melakukan apa lagi untuk mendidik anak kurang ajar itu. Ah, seandainya saja kanker itu...."
"Mama Lusiana sudah tenang di alam sana, Pa."
"Tapi, dia pasti akan sangat sedih bila melihat putri tunggalnya."
"Mama Lusiana akan jauh lebih sedih jika mengetahui Papa tidak pernah mau memafkan Kak Egi!"
"Ah seandainya saja Lusiana masih hidup, tentu dia dapat mendidik dan mengawasi anak itu. Dia terlalu manja sehingga...."
Jakarta masih membasah ketika dia melajukan mobilnya secepat kilat tadi. Diikutinya suara hati tanpa tujuan, dan berhenti setelah tangisannya meledak. Dia lelah menanti.
Dua tahun lalu dia berpikir hari-harinya akan berbunga. Mama telah menemukan kebahagiaannya sendiri. Takdir seolah mempertemukannya kembali dengan lelaki sahabat semasa remajanya dulu. Lelaki yang bernama Abraham Hans Waworuntu itu mempersuntingnya. Sekian belas tahun sejak kematian ayah kandungnya, sungguh, dia tidak pernah dapat merasakan lagi kasih sayang seorang ayah. Kebahagiaan itu pun membuncah ketika dia mengetahui bakal memiliki seorang kakak. Seorang kakak perempuan yang akan mengawal dan membimbingnya menjalani hari-harinya yang panjang. Sebagai putri tunggal dari Wulandari Pranoto dan almarhum Gunardi Pranoto, memiliki seorang kakak perempuan merupakan karunia Ilahi yang tak terhingga.
Sekelebat kenangan silam itu mendengung di kepalanya. Ada ultimatum dari gadis ringkih itu sebelum segalanya lantak. Bara dalam sekam itu telah menjadi api, membakar dan menghanguskan semua impian yang telah dibangunnya selama itu.
"Papa kejam!"
"Papa melakukan hal itu karena Papa sayang sama Kak Egi."
"Tidak! Tidak, May! Papa tidak adil! Papa tidak pernah adil!"
Satu lagi helaan napas panjang ketika rangkaian kisah berulang dalam alur yang sama. Selalu saja begitu. Padahal, dia ingin gadis itu hadir seutuhnya dalam keluarga mereka. Hadir sebagai saudara, mengisi kekosongan hari-harinya yang lalu. Namun semua impiannya hanya menjelma menjadi kenangan maya ketika gadis itu tetap bersikeras dengan keputusannya. Tidak pernah menganggap dia dan Mama masuk sebagai bagian dari kehidupannya yang baru.
Dua tahun berlalu dengan cepat. Menanti gadis itu pulang hanyalah usaha yang sia-sia. Namun dia masih saja tetap menanti.
"Papa tidak mau punya anak durhaka seperti dia!"
"Papa tidak dapat menghukumnya seberat itu."
"Hukuman itu belum setimpal dengan tindakan keterlaluan yang telah dia lakukan!"
"Kak Egi putri kandung Papa!"
"Papa lebih baik tidak punya anak seumur hidup ketimbang harus menanggung malu!"
"Ta-tapi...."
"Papa yang salah. Papa tidak dapat mendidiknya dengan baik"
"Tapi...."
"Sejak Lusiana meninggal tiga tahun lalu, dia berubah drastis. Papa tidak tahu harus melakukan apa lagi untuk mendidik anak kurang ajar itu. Ah, seandainya saja kanker itu...."
"Mama Lusiana sudah tenang di alam sana, Pa."
"Tapi, dia pasti akan sangat sedih bila melihat putri tunggalnya."
"Mama Lusiana akan jauh lebih sedih jika mengetahui Papa tidak pernah mau memafkan Kak Egi!"
"Ah seandainya saja Lusiana masih hidup, tentu dia dapat mendidik dan mengawasi anak itu. Dia terlalu manja sehingga...."
***
CHAPTER 3:
KAMI MENCINTAI KAK EGI!
KAMI MENCINTAI KAK EGI!
Semilir angin masih basah.
Masih terdengar lembut serangkaian lagu di gendang telinganya. Disandarkannya kepala ke jok mobil ketika 'Selamanya Cinta'-nya d cinnamons mengalun merdu dari frekuensi 102,2 FM di radio digital mobil. Dipejamkannya mata, takzim menyimak. Ada suara wadyabala Caesar meningkahi sebelum lagu tadi diputar di Prambors Jakarta. Lagu masih mengalun syahdu. Tidak dia matikan sejak dari garasi rumah tadi.
Pandangannya lurus mengarah ke jalan. Aspal masih membasah, tampak licin seperti kulit seekor ular raksasa yang sedang terpulas. Di tengah jalan sana pula sesekali hanya terlihat sekelebat cahaya lampu dari beberapa kendaraan yang lalu-lalang. Malam ini semuanya seperti membeku. Hatinya giris. Dingin angin malam masih menusuk-nusuk sampai ke tulang sumsumnya. Dia menggigil.
"Tapi, itu insiden, Pa!"
"Bukan insiden...."
"Tapi...."
"Bukan insiden kalau hal buruk yang dia lakukan itu merusak nama baik keluarga Waworuntu. Papa benar-benar malu!" Sebuah penegasan yang membungkam sederet perbendaharaan kalimatnya.
"Ke-kenapa, kenapa, Pa?! Kenapa Papa ti-tidak dapat memaafkannya sampai sekarang?!"
"Papa maafkan dia sampai seribu kali pun tidak dapat mengubah keadaan. Nama baik Waworuntu sudah kepalang hancur!"
"Papa! Sebegitu pentingkah nama baik keluarga sampai Papa tega mengusir dan tidak menganggap Kak Egi sebagai anak kandung Papa sendiri?!"
"Kamu jangan membela anak tidak tahu diri itu!"
"Bagi May, seburuk-buruknya Kak Egi, tapi dia tetap saudara May."
"Tidak ada tempat di hati Papa untuk anak perusak nama baik keluarga!"
"Kak Egi tidak sejahat itu, Pa. Kak Egi cuma khilaf!"
"Papa tidak dapat lagi mengetahui dan memilah perbuatannya. Apakah itu jahat atau tidak kalau terhadap ibunya sendiri dia tega..."
"Tapi, Mama sendiri sedari dulu sudah memaafkannya."
"Mamamu terlalu baik."
"Kak Egi masih belum dapat menerima Mama dan May pada waktu itu, Pa. Kak Egi sama sekali tidak bermaksud jahat. Itu hanya persoalan personal jealous. Seandainya May adalah Kak Egi, mungkin May juga akan berbuat seperti yang dilakukan oleh Kak Egi."
"Lalu, apa perbuatan memalukannya itu juga bukan...."
"Pa-Papa...!"
"Hah, karma apa Papa hingga...."
Kepalanya masih menyandar di jok mobil. Matanya terpejam. Dia terisak, membiarkan butiran-butiran bening itu mengaliri pipinya dengan hangat.
Masih terdengar lembut serangkaian lagu di gendang telinganya. Disandarkannya kepala ke jok mobil ketika 'Selamanya Cinta'-nya d cinnamons mengalun merdu dari frekuensi 102,2 FM di radio digital mobil. Dipejamkannya mata, takzim menyimak. Ada suara wadyabala Caesar meningkahi sebelum lagu tadi diputar di Prambors Jakarta. Lagu masih mengalun syahdu. Tidak dia matikan sejak dari garasi rumah tadi.
Pandangannya lurus mengarah ke jalan. Aspal masih membasah, tampak licin seperti kulit seekor ular raksasa yang sedang terpulas. Di tengah jalan sana pula sesekali hanya terlihat sekelebat cahaya lampu dari beberapa kendaraan yang lalu-lalang. Malam ini semuanya seperti membeku. Hatinya giris. Dingin angin malam masih menusuk-nusuk sampai ke tulang sumsumnya. Dia menggigil.
"Tapi, itu insiden, Pa!"
"Bukan insiden...."
"Tapi...."
"Bukan insiden kalau hal buruk yang dia lakukan itu merusak nama baik keluarga Waworuntu. Papa benar-benar malu!" Sebuah penegasan yang membungkam sederet perbendaharaan kalimatnya.
"Ke-kenapa, kenapa, Pa?! Kenapa Papa ti-tidak dapat memaafkannya sampai sekarang?!"
"Papa maafkan dia sampai seribu kali pun tidak dapat mengubah keadaan. Nama baik Waworuntu sudah kepalang hancur!"
"Papa! Sebegitu pentingkah nama baik keluarga sampai Papa tega mengusir dan tidak menganggap Kak Egi sebagai anak kandung Papa sendiri?!"
"Kamu jangan membela anak tidak tahu diri itu!"
"Bagi May, seburuk-buruknya Kak Egi, tapi dia tetap saudara May."
"Tidak ada tempat di hati Papa untuk anak perusak nama baik keluarga!"
"Kak Egi tidak sejahat itu, Pa. Kak Egi cuma khilaf!"
"Papa tidak dapat lagi mengetahui dan memilah perbuatannya. Apakah itu jahat atau tidak kalau terhadap ibunya sendiri dia tega..."
"Tapi, Mama sendiri sedari dulu sudah memaafkannya."
"Mamamu terlalu baik."
"Kak Egi masih belum dapat menerima Mama dan May pada waktu itu, Pa. Kak Egi sama sekali tidak bermaksud jahat. Itu hanya persoalan personal jealous. Seandainya May adalah Kak Egi, mungkin May juga akan berbuat seperti yang dilakukan oleh Kak Egi."
"Lalu, apa perbuatan memalukannya itu juga bukan...."
"Pa-Papa...!"
"Hah, karma apa Papa hingga...."
Kepalanya masih menyandar di jok mobil. Matanya terpejam. Dia terisak, membiarkan butiran-butiran bening itu mengaliri pipinya dengan hangat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar