Jumat, 24 Desember 2010

kuliner

Cerita Rakyat Jawa Timur

Dahulu, di lautan luas sering terjadi perkelahian antara ikan hiu Sura dengan Buaya. Mereka berkelahi hanya karena berebut mangsa. Keduanya sama-sama kuat, sama-sama tangkas, sama-sama cerdik, sama-sama ganas, dan sama-sama rakus. Sudah berkali-kali mereka berkelahi belum pernah ada yang menang atau pun yang kalah. Akhimya mereka mengadakan kesepakatan.
“Aku bosan terus-menerus berkelahi, Buaya,” kata ikan Sura.
“Aku juga, Sura. Apa yang harus kita lakukan agar kita tidak lagi berkelahi?” tanya Buaya.
Ikan Hiu Sura yang sudah memiliki rertcana untuk menghentikan perkelahiannya dengan Buaya segera menerangkan.
“Untuk mencegah perkelahian di antara kita, sebaiknya kita membagi daerah kekuasaan menjadi dua. Aku berkuasa sepenuhnyadi dalam air dan harus mencari mangsa di dalam air, sedangkan kamu berkuasa di daratan dan mangsamu harus yang berada di daratan. Sebagai batas antara daratan dan air, kita tentukan batasnya, yaitu tempat yang dicapai oleh air laut pada waktu pasang surut!”
“Baik aku setujui gagasanmu itu!” kata Buaya.
Dengan adanya pembagian wilayah kekuasaan, maka tidak ada perkelahian lagi antara Sura dan Buaya. Keduanya telah sepakat untuk menghormati wilayah masing-masing.
Tetapi pada suatu hari, Ikan Hiu Sura mencari mangsa di sungai. Hal ini dilakukan dengan sembunyi-sembunyi agar Buaya tidak mengetahui. Mula-mula hal ini memarig tidak ketahuan. Tetapi pada suatu hari Buaya memergoki perbuatan Ikan Hiu Sura ini. Tentu saja Buaya sangat marah melihat Ikan Hiu Sura melanggar janjinya.
“Hai Sura, mengapa kamu melanggar peraturan yang telah kita sepakati berdua? Mengapa kamu berani memasuki sungai yang merupakan wilayah kekuasaanku?” tanya Buaya.
Ikan Hiu Sura yang tak merasa bersalah tenang-tenang saja. “Aku melanggar kesepakatan? Bukankah sungai ini berair.
Bukankah aku sudah bilang bahwa aku adalah penguasa di air? Nah, sungai ini ‘kan ada airnya, jadi juga termasuk daerah kekuasaanku,” kata Ikan Hiu Sura.
“Apa? Sungai itu ‘kari tempatnya di darat, sedangkan daerah kekuasaanmu ada di laut, berarti sungai itu adalah daerah kekuasaanku!” Buaya ngotot.
“Tidak bisa. Aku “kan tidak pernah bilang kalau di air hanya air laut, tetapi juga air sungai,” jawab Ikan Hiu Sura.
“Kau sengaja mencari gara-gara, Sura?”
“Tidak! Kukira alasanku cukup kuat dan aku memang di pihak yang benar!” kata Sura.
“Kau sengaja mengakaliku. Aku tidak sebodoh yang kau kira!” kata Buaya mulai marah.
“Aku tak peduli kau bodoh atau pintar, yang penting air sungai dan air laut adalah kekuasaanku!” Sura tetap tak mau kalah.
“Kalau begitu kamu memang bermaksud membohongiku ? Dengan demikian perjanjian kita batal! Siapa yang memiliki kekuatan yang paling hebat, dialah yang akan menjadi penguasa tunggal!” kata Buaya.
“Berkelahi lagi, siapa takuuut!” tantang Sura dengan pongahnya.
Pertarungan sengit antara Ikan Hiu Sura dan Buaya terjadi lagi. Pertarungan kali ini semakin seru dan dahsyat. Saling menerjang dan menerkam, saling menggigit dan memukul. Dalam waktu sekejap, air di sekitarnya menjadi merah oleh darah yang keluar dari luka-luka kedua binatang itu. Mereka terus bertarung mati-matian tanpa istirahat sama sekali.
Dalam pertarungan dahsyat ini, Buaya mendapat gigitan Ikan Hiu Sura di pangkal ekornya sebelah kanan. Selanjutnya, ekornya itu terpaksa selalu membelok ke kiri. Sementara ikan Sura juga tergigiut ekornya hingga hampir putus lalu ikan Sura kembali ke lautan. Buaya puas telah dapat mempertahankan daerahnya.
Pertarungan antara Ikan Hiu yang bernama Sura dengan Buaya ini sangat berkesan di hati masyarakat Surabaya. Oleh karena itu, nama Surabaya selalu dikait-kaitkan dengan peristiwa ini. Dari peristiwa inilah kemudian dibuat lambang Kota Madya Surabaya yaitu gambar ikan sura dan buaya.
Namun adajugayang berpendapat Surabaya berasal dari Kata Sura dan Baya. Sura berarti Jaya atau selamat Baya berarti bahaya, jadi Surabaya berarti selamat menghadapi bahaya. Bahaya yang dimaksud adalah serangah tentara Tar-tar yang hendak menghukum Raja Jawa.Seharusnya yang dihukum adalah Kertanegara, karena Kertanegara sudah tewas terbunuh, maka Jayakatwang yang diserbu oleh tentara Tar-tar. Setelah mengalahkan Jayakatwang orang-orang Tar-Tar merampas harta benda dan puluhan gadis-gadis cantik untuk dibawa ke Tiongkok. Raden Wijaya tidak terima diperlakukan sepereti ini. Dengan siasat yang jitu, Raden Wijaya menyerang tentara Tar-Tar di pelabuhan Ujung Galuh hingga mereka menyingkir kembali ke Tiongkok.
Selanjutnya, dari hari peristiwa kemenangan Raden Wijaya inilah ditetapkan sebagai hari jadi Kota Surabaya.
Surabaya sepertinya sudah ditakdirkan untuk terus bergolak. Tanggal 10 Nopmber 1945 adalah bukti jati diri warga Surabaya yaitu berani menghadapi bahaya serangan Inggris dan Belanda.
Di jaman sekarang, pertarungan memperebutkan wilayah air dan darat terus berlanjut. Di kala musim penghujan tiba kadangkala banjir menguasai kota Surabaya. Di musim kemarau kadangkala tenpat-tempat genangan air menjadi daratan kering. Itulah Surabaya.

Legenda Candi Prambanan

Alkisah, pada dahulu kala terdapat sebuah kerajaan besar yang bernama Prambanan. Rakyatnya hidup tenteran dan damai. Tetapi, apa yang terjadi kemudian? Kerajaan Prambanan diserang dan dijajah oleh negeri Pengging. Ketentraman Kerajaan Prambanan menjadi terusik. Para tentara tidak mampu menghadapi serangan pasukan Pengging. Akhirnya, kerajaan Prambanan dikuasai oleh Pengging, dan dipimpin oleh Bandung Bondowoso.
Bandung Bondowoso seorang yang suka memerintah dengan kejam. “Siapapun yang tidak menuruti perintahku, akan dijatuhi hukuman berat!”, ujar Bandung Bondowoso pada rakyatnya. Bandung Bondowoso adalah seorang yang sakti dan mempunyai pasukan jin. Tidak berapa lama berkuasa, Bandung Bondowoso suka mengamati gerak-gerik Loro Jonggrang, putri Raja Prambanan yang cantik jelita. “Cantik nian putri itu. Aku ingin dia menjadi permaisuriku,” pikir Bandung Bondowoso.
Esok harinya, Bondowoso mendekati Loro Jonggrang. “Kamu cantik sekali, maukah kau menjadi permaisuriku ?”, Tanya Bandung Bondowoso kepada Loro Jonggrang. Loro Jonggrang tersentak, mendengar pertanyaan Bondowoso. “Laki-laki ini lancang sekali, belum kenal denganku langsung menginginkanku menjadi permaisurinya”, ujar Loro Jongrang dalam hati. “Apa yang harus aku lakukan ?”. Loro Jonggrang menjadi kebingungan. Pikirannya berputar-putar. Jika ia menolak, maka Bandung Bondowoso akan marah besar dan membahayakan keluarganya serta rakyat Prambanan. Untuk mengiyakannya pun tidak mungkin, karena Loro Jonggrang memang tidak suka dengan Bandung Bondowoso.
“Bagaimana, Loro Jonggrang ?” desak Bondowoso. Akhirnya Loro Jonggrang mendapatkan ide. “Saya bersedia menjadi istri Tuan, tetapi ada syaratnya,” Katanya. “Apa syaratnya? Ingin harta yang berlimpah? Atau Istana yang megah?”. “Bukan itu, tuanku, kata Loro Jonggrang. Saya minta dibuatkan candi, jumlahnya harus seribu buah. “Seribu buah?” teriak Bondowoso. “Ya, dan candi itu harus selesai dalam waktu semalam.” Bandung Bondowoso menatap Loro Jonggrang, bibirnya bergetar menahan amarah. Sejak saat itu Bandung Bondowoso berpikir bagaimana caranya membuat 1000 candi. Akhirnya ia bertanya kepada penasehatnya. “Saya percaya tuanku bias membuat candi tersebut dengan bantuan Jin!”, kata penasehat. “Ya, benar juga usulmu, siapkan peralatan yang kubutuhkan!”
Setelah perlengkapan di siapkan. Bandung Bondowoso berdiri di depan altar batu. Kedua lengannya dibentangkan lebar-lebar. “Pasukan jin, Bantulah aku!” teriaknya dengan suara menggelegar. Tak lama kemudian, langit menjadi gelap. Angin menderu-deru. Sesaat kemudian, pasukan jin sudah mengerumuni Bandung Bondowoso. “Apa yang harus kami lakukan Tuan ?”, tanya pemimpin jin. “Bantu aku membangun seribu candi,” pinta Bandung Bondowoso. Para jin segera bergerak ke sana kemari, melaksanakan tugas masing-masing. Dalam waktu singkat bangunan candi sudah tersusun hampir mencapai seribu buah.
Sementara itu, diam-diam Loro Jonggrang mengamati dari kejauhan. Ia cemas, mengetahui Bondowoso dibantu oleh pasukan jin. “Wah, bagaimana ini?”, ujar Loro Jonggrang dalam hati. Ia mencari akal. Para dayang kerajaan disuruhnya berkumpul dan ditugaskan mengumpulkan jerami. “Cepat bakar semua jerami itu!” perintah Loro Jonggrang. Sebagian dayang lainnya disuruhnya menumbuk lesung. Dung… dung…dung! Semburat warna merah memancar ke langit dengan diiringi suara hiruk pikuk, sehingga mirip seperti fajar yang menyingsing.
Pasukan jin mengira fajar sudah menyingsing. “Wah, matahari akan terbit!” seru jin. “Kita harus segera pergi sebelum tubuh kita dihanguskan matahari,” sambung jin yang lain. Para jin tersebut berhamburan pergi meninggalkan tempat itu. Bandung Bondowoso sempat heran melihat kepanikan pasukan jin.
Paginya, Bandung Bondowoso mengajak Loro Jonggrang ke tempat candi. “Candi yang kau minta sudah berdiri!”. Loro Jonggrang segera menghitung jumlah candi itu. Ternyata jumlahnya hanya 999 buah!. “Jumlahnya kurang satu!” seru Loro Jonggrang. “Berarti tuan telah gagal memenuhi syarat yang saya ajukan”. Bandung Bondowoso terkejut mengetahui kekurangan itu. Ia menjadi sangat murka. “Tidak mungkin…”, kata Bondowoso sambil menatap tajam pada Loro Jonggrang. “Kalau begitu kau saja yang melengkapinya!” katanya sambil mengarahkan jarinya pada Loro Jonggrang. Ajaib! Loro Jonggrang langsung berubah menjadi patung batu. Sampai saat ini candi-candi tersebut masih ada dan disebut Candi Loro Jonggrang. Karena terletak di wilayah Prambanan, Jawa Tengah, Candi Loro Jonggrang dikenal sebagai Candi Prambanan
Sumber: e-smartschool.com


CHAPTER 1:
MENANTI REGINE PULANG


"Cinta dan kasih sayang bukanlah semata diturunkan dari langit,
namun ia diciptakan oleh hati yang putih dan murni."
(Effendy Wongso)


PROLOG

Halo, nama saya Regine. Saya biasa dipanggil Egi, singkat dan kedengarannya enak di kuping. Saya lahir di dalam keluarga yang terbilang cukup segala-galanya. Dan pada mulanya keluarga kami utuh serta bahagia, namun Tuhan berkehendak lain saat Ia memanggil Mama lewat penyakit kanker yang dideritanya. Beberapa saat setelah Mama meninggal, Papa memutuskan menikah dengan perempuan lain, serta memboyong putri tunggalnya, Mayangsari. Itulah ihwal lantaknya hubungan saya dengan Papa. Pada saat itulah saya merasakan dunia ini tidak indah lagi. Dunia remaja yang penuh dengan bunga kini berubah menjadi neraka. Yang ada hanya pertengkaran dan pertengkaran. Saya tidak dapat menerima kehadiran ibu baru dan adik baru dalam keluarga kami. Bagi saya, ibu tiri adalah tiran dalam persepsi saya. Namun benarkah demikian?! Bahwa penderitaan itu selalu bermuasal dari orang lain?! Sungguh saya tidak tahu. Yang pasti, pertengkaran itu telah membuat kami begitu menderita. Saya, setelah lari dari keluarga kami, tinggal serumah dengan Tante Lin, adik almarhumah Mama di luar kota. Namun sayang, pergaulan bebas membuat saya terpuruk dan hal itu menambah penderitaan saya. Ya, Allah! Saya memang telah bergelimang dosa. Lalu saya kembali ke rumah Papa setelah menyadari satu hal bahwa, cinta dan kasih sayang bukanlah semata diturunkan dari langit, namun ia diciptakan oleh hati yang putih dan murni.
Ya, hati yang putih dan murni!
***
Tentang Mayangsari

Tak ada yang pernah tahu bagaimana getir kenangan itu.
Dibiarkannya airmata menitik setiap hal itu melintas mendadak dalam benaknya.
Dan tetap berharap, Regine akan datang dengan kedua tangan terpentang, lari ke arahnya lantas memeluknya.
Namun buliran waktu yang berdetak melalui himpunan detik seolah enggan menyapa. Hari demi hari. Bulan demi bulan. Semuanya berlalu tanpa terasa. Sudah dua tahun. Gadis itu tidak pernah datang. Menyimpan api dendam yang entah sampai kapan dapat padam.
Gadis itu baru juga genap tujuh belas
Beban hukuman yang disanksikan Papa semestinya belum pantas dipikulnya.
Dia sama sekali tidak sadar apa yang telah dilakukannya. Kehilangan orang yang sangat disayanginya memang telah melimbungkannya dalam lara berkepanjangan. Dia pun belum dapat menerima kasih sayang dari orang lain. Terlebih-lebih menyaksikan sepotong kasih dari Papa telah terbagi. Bukan lagi semata-mata untuknya!
Dia lari dengan membawa segumpal dendam. Terpuruk ke dalam kekhilafan yang tidak dapat dimaafkan. Tidak ada tempat lagi baginya untuk berpijak di dalam keluarganya sendiri, meski dia terlahir dari darah dan daging lelaki separo baya panutannya itu.
Dua tahun gadis itu menghilang. Pusaran waktu seolah menelannya. Dan tidak pernah memunculkannya kembali menyusuri kehidupan baru yang selama ini menjadi impiannya.
Lalu, ketika dia datang....
***


CHAPTER 2:
JANGAN PERGI, KAK EGI!

Dihentikannya laju mobil. Daerah Kuningan tampak lengang ketika dia menepikan mobil di bahu jalan. Metropolitan seolah lelap dibuai bayu. Gedung-gedung pencakar langit di sana tampak tertidur dengan penerangan yang temaram. Sesaat disandarkannya pelan kepalanya di atas kemudi mobil. Dibiarkannya semilir angin basah membasuh wajahnya lewat kaca jendela yang sedari tadi dibiarkan terbuka setengah. Udara masih menyisakan partikel-partikel air. Sesekali terdengar tirisan air hujan dari rerimbunan pohon di tepi jalan yang menerpa atap mobil. Sebagian menerpa kaca mobil dengan irama yang teratur.
Jakarta masih membasah ketika dia melajukan mobilnya secepat kilat tadi. Diikutinya suara hati tanpa tujuan, dan berhenti setelah tangisannya meledak. Dia lelah menanti.
Dua tahun lalu dia berpikir hari-harinya akan berbunga. Mama telah menemukan kebahagiaannya sendiri. Takdir seolah mempertemukannya kembali dengan lelaki sahabat semasa remajanya dulu. Lelaki yang bernama Abraham Hans Waworuntu itu mempersuntingnya. Sekian belas tahun sejak kematian ayah kandungnya, sungguh, dia tidak pernah dapat merasakan lagi kasih sayang seorang ayah. Kebahagiaan itu pun membuncah ketika dia mengetahui bakal memiliki seorang kakak. Seorang kakak perempuan yang akan mengawal dan membimbingnya menjalani hari-harinya yang panjang. Sebagai putri tunggal dari Wulandari Pranoto dan almarhum Gunardi Pranoto, memiliki seorang kakak perempuan merupakan karunia Ilahi yang tak terhingga.
Sekelebat kenangan silam itu mendengung di kepalanya. Ada ultimatum dari gadis ringkih itu sebelum segalanya lantak. Bara dalam sekam itu telah menjadi api, membakar dan menghanguskan semua impian yang telah dibangunnya selama itu.
"Papa kejam!"
"Papa melakukan hal itu karena Papa sayang sama Kak Egi."
"Tidak! Tidak, May! Papa tidak adil! Papa tidak pernah adil!"
Satu lagi helaan napas panjang ketika rangkaian kisah berulang dalam alur yang sama. Selalu saja begitu. Padahal, dia ingin gadis itu hadir seutuhnya dalam keluarga mereka. Hadir sebagai saudara, mengisi kekosongan hari-harinya yang lalu. Namun semua impiannya hanya menjelma menjadi kenangan maya ketika gadis itu tetap bersikeras dengan keputusannya. Tidak pernah menganggap dia dan Mama masuk sebagai bagian dari kehidupannya yang baru.
Dua tahun berlalu dengan cepat. Menanti gadis itu pulang hanyalah usaha yang sia-sia. Namun dia masih saja tetap menanti.
"Papa tidak mau punya anak durhaka seperti dia!"
"Papa tidak dapat menghukumnya seberat itu."
"Hukuman itu belum setimpal dengan tindakan keterlaluan yang telah dia lakukan!"
"Kak Egi putri kandung Papa!"
"Papa lebih baik tidak punya anak seumur hidup ketimbang harus menanggung malu!"
"Ta-tapi...."
"Papa yang salah. Papa tidak dapat mendidiknya dengan baik"
"Tapi...."
"Sejak Lusiana meninggal tiga tahun lalu, dia berubah drastis. Papa tidak tahu harus melakukan apa lagi untuk mendidik anak kurang ajar itu. Ah, seandainya saja kanker itu...."
"Mama Lusiana sudah tenang di alam sana, Pa."
"Tapi, dia pasti akan sangat sedih bila melihat putri tunggalnya."
"Mama Lusiana akan jauh lebih sedih jika mengetahui Papa tidak pernah mau memafkan Kak Egi!"
"Ah seandainya saja Lusiana masih hidup, tentu dia dapat mendidik dan mengawasi anak itu. Dia terlalu manja sehingga...."
***

CHAPTER 3:
KAMI MENCINTAI KAK EGI!

Semilir angin masih basah.
Masih terdengar lembut serangkaian lagu di gendang telinganya. Disandarkannya kepala ke jok mobil ketika 'Selamanya Cinta'-nya d cinnamons mengalun merdu dari frekuensi 102,2 FM di radio digital mobil. Dipejamkannya mata, takzim menyimak. Ada suara wadyabala Caesar meningkahi sebelum lagu tadi diputar di Prambors Jakarta. Lagu masih mengalun syahdu. Tidak dia matikan sejak dari garasi rumah tadi.
Pandangannya lurus mengarah ke jalan. Aspal masih membasah, tampak licin seperti kulit seekor ular raksasa yang sedang terpulas. Di tengah jalan sana pula sesekali hanya terlihat sekelebat cahaya lampu dari beberapa kendaraan yang lalu-lalang. Malam ini semuanya seperti membeku. Hatinya giris. Dingin angin malam masih menusuk-nusuk sampai ke tulang sumsumnya. Dia menggigil.
"Tapi, itu insiden, Pa!"
"Bukan insiden...."
"Tapi...."
"Bukan insiden kalau hal buruk yang dia lakukan itu merusak nama baik keluarga Waworuntu. Papa benar-benar malu!" Sebuah penegasan yang membungkam sederet perbendaharaan kalimatnya.
"Ke-kenapa, kenapa, Pa?! Kenapa Papa ti-tidak dapat memaafkannya sampai sekarang?!"
"Papa maafkan dia sampai seribu kali pun tidak dapat mengubah keadaan. Nama baik Waworuntu sudah kepalang hancur!"
"Papa! Sebegitu pentingkah nama baik keluarga sampai Papa tega mengusir dan tidak menganggap Kak Egi sebagai anak kandung Papa sendiri?!"
"Kamu jangan membela anak tidak tahu diri itu!"
"Bagi May, seburuk-buruknya Kak Egi, tapi dia tetap saudara May."
"Tidak ada tempat di hati Papa untuk anak perusak nama baik keluarga!"
"Kak Egi tidak sejahat itu, Pa. Kak Egi cuma khilaf!"
"Papa tidak dapat lagi mengetahui dan memilah perbuatannya. Apakah itu jahat atau tidak kalau terhadap ibunya sendiri dia tega..."
"Tapi, Mama sendiri sedari dulu sudah memaafkannya."
"Mamamu terlalu baik."
"Kak Egi masih belum dapat menerima Mama dan May pada waktu itu, Pa. Kak Egi sama sekali tidak bermaksud jahat. Itu hanya persoalan personal jealous. Seandainya May adalah Kak Egi, mungkin May juga akan berbuat seperti yang dilakukan oleh Kak Egi."
"Lalu, apa perbuatan memalukannya itu juga bukan...."
"Pa-Papa...!"
"Hah, karma apa Papa hingga...."
Kepalanya masih menyandar di jok mobil. Matanya terpejam. Dia terisak, membiarkan butiran-butiran bening itu mengaliri pipinya dengan hangat.

cerpen

  30 Years, It's Just Too Early
    • Sara Nindya

"Diperkirakan 30 tahun dari sekarang, bumi dikhawatirkan akan mengalami kehancuran."
Begitulah kutipan kalimat dalam sebuah artikel suratkabar yang dibaca Kania. Ditutupnya koran yang ia pegang kemudian ia mengkalkulasikan umurnya saat ini dengan perkiraan waktu bumi akan hancur.
"Berarti waktu aku umur 47 tahun dong! Haaaaaaaaahhh?!" jerit Kania histeris, membuat Bunda yang melintas di depannya terkejut melihat putrinya menjerit heboh.
"Ada apa, Ka?" tanya Bunda bingung.
Kania teringat langkah pencegahan global warming dari artikel yang baru dibacanya. "Mulai besok aku mau ke sekolah naik sepeda aja, Bun," kata Kania.
"Kan sepedanya dibawa Mas Bima ke Bandung," timpal Bunda.
"Bukan sepeda motor, Bun. Tapi sepeda pancal yang udah lama nggak pernah dipake itu," terang Kania.
"Hah?" Bunda terkejut dengan penjelasan Kania yang terdengar agak nyeleneh itu. "Sekolahmu kan lumayan jauh, Ka. Apa nanti kamu nggak terlambat datangnya?" tanya Bunda, masih tidak mengerti maksud di balik rencana putrinya itu.
"Aku kan bisa berangkat lebih pagi, sekalian olahraga, Bun. Lagipula, aku pernah baca di koran, Pemkot aja udah mencanangkan Bike to Work. Kenapa aku nggak Bike to School? Demi kelangsungan bumi kita tercinta, Bunda." Kania mengakhiri perkataannya sambil tersenyum, Bunda pun dibuat amazed akan jawaban Kania. Beliau kagum putrinya concern juga masalah kondisi bumi yang semakin gawat ini.
***
Esoknya di sekolah.
Kania sudah menjadi pusat perhatian sejak ia mulai mengayuh sepedanya melewati pintu gerbang sekolahnya, bahkan satpam penjaga gerbang saja sampai tercengang.
"Kania?" sebuah suara menyapa Kania yang sedang mengunci sepeda pancalnya di tempat parkir motor.
"Hai, Lintang," sapa Kania, degup jantungnya mendadak semakin cepat. Diam-diam ia naksir sang Ketua Kelas di hadapannya ini.
"Kamu naik sepeda ke sekolah?" tanya Lintang sambil melirik sepeda yang masih tampak mulus di samping Kania.
Kania mengangguk. "Aku nggak mau mati muda soalnya," jawab Kania sambil berlalu, meninggalkan Lintang yang masih belum menangkap maksud jawaban Kania.
Lintang pun mengejar Kania yang melenggang masuk ke dalam sekolah. "Maksud kamu? Kamu nggak sedang mengidap penyakit parah, kan?" tanya Lintang setengah khawatir.
"Nggak kok, Lintang. Ini cuma supaya bumi kita nggak cepat hancur, aku baca di koran prediksinya 30 tahun dari sekarang. Masih banyak yang mau aku lakukan, masih pengen keliling dunia. Duh, pokoknya mati umur 47 masih terlalu muda!" Kania berseru histeris.
Lintang pun dibuat terdiam akan jawaban Kania yang polos itu. Selama ini ia tidak pernah notice hal-hal tentang global warming meski media juga tengah gencar menyiarkan. Tapi, penjelesan sederhana dari cewek yang selama ini ia kagumi ini ternyata mampu menyadarkannya tentang seberapa gawat keadaan bumi sekarang.
30 tahun? Gue juga masih pengen hidup di umur 47, batin Lintang.
"Ka, kamu kan Ketua Osis. Kenapa nggak bikin program aja buat menyelamatkan bumi? Kalau nggak salah kan Pemkot bikin Bike to Work, kita bikin aja Bike to School." Lintang mengusulkan.
Gosh, Lintang. Kenapa kita bisa berpikiran sama sih? batin Kania.
"Boleh. I've been thinking about that actually. Makasih ya usulnya," kata Kania sambil tersenyum manis. Membuat jantung Lintang berdebar kencang saat melihatnya.
"Ka, aku denger kamu naik sepeda ke sekolah," todong Bonie, salah satu sahabat Kania.
Bel istirahat berdering, para siswa SMA Perwira Nasional berhamburan menuju kantin sekolah yang mungil tapi punya tempat makan favorit siswa yang nyaman karena outdoor di area taman. Tidak terkecuali Kania dan ketiga sahabatnya.
"Iya, emang kenapa?" tanya Kania sambil menyeruput es jeruk nipis kesukaannya kala matahari sedang terik-teriknya seperti sekarang.
"Apa kata anak-anak entar, Ka. Masa Ketua Osis naik sepeda? Emang bokap udah nggak mau nganter lagi?" tanya Prita yang selalu mementingkan image di depan orang lain.
"Kalo gue sih cuek aja, Ka. Bodo amat apa kata orang! Di Jakarta, orang yang nekat kayak elo jarang banget. Terusin aja, Ka. Besok gue juga naik sepeda deh ke sekolah." Berbeda dengan pendapat kedua temannya yang lain, Hera yang asli Jakarta malah mendukung Kania.
Kania pun menceritakan tentang artikel yang dibacanya kemarin. "Kalian nggak harus ngikutin caraku kok, kalian boleh ke sekolah naik apa aja sesuka kalian. Tapi usahain jangan bikin polusi semakin meningkat," lanjut Kania.
"Oh gitu ya, Ka. Kemarin aku juga baca artikel kayak gitu juga sih. Ngeri emang ngebayangin kalo bumi kita hancur dalam waktu dekat," sahut Bonie.
"Berarti kita mati muda dong?! NO...!" seru Prita heboh. "Aku kan masih pengen jadi bintang film di Hollywood. Kalo 30 tahun lagi bumi udah hancur, aku nggak bisa ke Hollywood dong!"
"Ya udah, besok lu berangkat ke sekolah naik bemo aja, Prit," kata Hera asal, membuahkan tawa yang mendengarnya. Naik angkutan umum adalah hal yang paling nggak mungkin Prita lakukan. Pikiran-pikiran parno mengenai bemo pun langsung menyergapnya. Prita pun memandang Kania, minta pertolongan.
"Kalo nggak mau naik bemo ya naik sepeda aja, Prit," usul Kania yang malah membuahkan tawa yang semakin keras dari teman-temannya. Membayangkan Prita mengayuh sepeda bakal sama seperti membayangkan betapa lucunya seorang putri manja yang naik sepeda pancal ke sekolah.
"Atau kamu bisa bareng sama aku ke sekolah, Prit. Emang sih mobilku nggak senyaman Mercedez-mu. Apalagi aku barengan sama dua adikku yang masih SD, tapi masih ada tempat kosong kalau kamu mau nebeng. Gimana?" Bonie memberi usul yang kali ini masih agak masuk akal.
"Iya, Prit. Rumah kalian kan sekomplek, barengan aja kan lebih efisien," timpal Kania.
Prita pun mengiyakan. "Ini semua demi mimpiku ke Hollywood," kata Prita menerawang. Kania, Bonie dan Hera pun tertawa terbahak melihat tingkah temannya ini.
***
Esok paginya di sekolah.
Ketika sedang antri untuk memarkirkan sepedanya, Kania dibarengi seorang cowok yang juga naik sepeda pancal ke sekolah. Saat menoleh ke samping, ternyata cowok itu adalah Lintang.
"Lintang? Kamu...." tanya Kania takjub, tak menyangka Lintang yang tampak berwibawa ini akan mengikuti jejaknya.
"Aku juga nggak mau mati muda. Still have lots of things to do," jawab Lintang sembari tersenyum.
Kania dan Lintang pun memarkirkan sepedanya bersebelahan, hal itu tanpa mereka sadari menarik perhatian Hera yang tengah melintas usai memarkirkan sepedanya tepat di depan mereka.
"Duh, romatis bener! Sepedanya sampe diparkir sebelahan gitu," goda Hera sambil melenggang pergi.
Kania pun jadi blushing mendengarnya, ia lihat Lintang juga tampak bingung menyembunyikan wajahnya yang merona.
30 years is just too early for God's sake! ©