30 Years, It's Just Too Early
• Sara Nindya
• Sara Nindya
"Diperkirakan 30 tahun dari sekarang, bumi dikhawatirkan akan mengalami kehancuran."
Begitulah kutipan kalimat dalam sebuah artikel suratkabar yang dibaca Kania. Ditutupnya koran yang ia pegang kemudian ia mengkalkulasikan umurnya saat ini dengan perkiraan waktu bumi akan hancur.
"Berarti waktu aku umur 47 tahun dong! Haaaaaaaaahhh?!" jerit Kania histeris, membuat Bunda yang melintas di depannya terkejut melihat putrinya menjerit heboh.
"Ada apa, Ka?" tanya Bunda bingung.
Kania teringat langkah pencegahan global warming dari artikel yang baru dibacanya. "Mulai besok aku mau ke sekolah naik sepeda aja, Bun," kata Kania.
"Kan sepedanya dibawa Mas Bima ke Bandung," timpal Bunda.
"Bukan sepeda motor, Bun. Tapi sepeda pancal yang udah lama nggak pernah dipake itu," terang Kania.
"Hah?" Bunda terkejut dengan penjelasan Kania yang terdengar agak nyeleneh itu. "Sekolahmu kan lumayan jauh, Ka. Apa nanti kamu nggak terlambat datangnya?" tanya Bunda, masih tidak mengerti maksud di balik rencana putrinya itu.
"Aku kan bisa berangkat lebih pagi, sekalian olahraga, Bun. Lagipula, aku pernah baca di koran, Pemkot aja udah mencanangkan Bike to Work. Kenapa aku nggak Bike to School? Demi kelangsungan bumi kita tercinta, Bunda." Kania mengakhiri perkataannya sambil tersenyum, Bunda pun dibuat amazed akan jawaban Kania. Beliau kagum putrinya concern juga masalah kondisi bumi yang semakin gawat ini.
Begitulah kutipan kalimat dalam sebuah artikel suratkabar yang dibaca Kania. Ditutupnya koran yang ia pegang kemudian ia mengkalkulasikan umurnya saat ini dengan perkiraan waktu bumi akan hancur.
"Berarti waktu aku umur 47 tahun dong! Haaaaaaaaahhh?!" jerit Kania histeris, membuat Bunda yang melintas di depannya terkejut melihat putrinya menjerit heboh.
"Ada apa, Ka?" tanya Bunda bingung.
Kania teringat langkah pencegahan global warming dari artikel yang baru dibacanya. "Mulai besok aku mau ke sekolah naik sepeda aja, Bun," kata Kania.
"Kan sepedanya dibawa Mas Bima ke Bandung," timpal Bunda.
"Bukan sepeda motor, Bun. Tapi sepeda pancal yang udah lama nggak pernah dipake itu," terang Kania.
"Hah?" Bunda terkejut dengan penjelasan Kania yang terdengar agak nyeleneh itu. "Sekolahmu kan lumayan jauh, Ka. Apa nanti kamu nggak terlambat datangnya?" tanya Bunda, masih tidak mengerti maksud di balik rencana putrinya itu.
"Aku kan bisa berangkat lebih pagi, sekalian olahraga, Bun. Lagipula, aku pernah baca di koran, Pemkot aja udah mencanangkan Bike to Work. Kenapa aku nggak Bike to School? Demi kelangsungan bumi kita tercinta, Bunda." Kania mengakhiri perkataannya sambil tersenyum, Bunda pun dibuat amazed akan jawaban Kania. Beliau kagum putrinya concern juga masalah kondisi bumi yang semakin gawat ini.
***
Esoknya di sekolah.
Kania sudah menjadi pusat perhatian sejak ia mulai mengayuh sepedanya melewati pintu gerbang sekolahnya, bahkan satpam penjaga gerbang saja sampai tercengang.
"Kania?" sebuah suara menyapa Kania yang sedang mengunci sepeda pancalnya di tempat parkir motor.
"Hai, Lintang," sapa Kania, degup jantungnya mendadak semakin cepat. Diam-diam ia naksir sang Ketua Kelas di hadapannya ini.
"Kamu naik sepeda ke sekolah?" tanya Lintang sambil melirik sepeda yang masih tampak mulus di samping Kania.
Kania mengangguk. "Aku nggak mau mati muda soalnya," jawab Kania sambil berlalu, meninggalkan Lintang yang masih belum menangkap maksud jawaban Kania.
Lintang pun mengejar Kania yang melenggang masuk ke dalam sekolah. "Maksud kamu? Kamu nggak sedang mengidap penyakit parah, kan?" tanya Lintang setengah khawatir.
"Nggak kok, Lintang. Ini cuma supaya bumi kita nggak cepat hancur, aku baca di koran prediksinya 30 tahun dari sekarang. Masih banyak yang mau aku lakukan, masih pengen keliling dunia. Duh, pokoknya mati umur 47 masih terlalu muda!" Kania berseru histeris.
Lintang pun dibuat terdiam akan jawaban Kania yang polos itu. Selama ini ia tidak pernah notice hal-hal tentang global warming meski media juga tengah gencar menyiarkan. Tapi, penjelesan sederhana dari cewek yang selama ini ia kagumi ini ternyata mampu menyadarkannya tentang seberapa gawat keadaan bumi sekarang.
30 tahun? Gue juga masih pengen hidup di umur 47, batin Lintang.
"Ka, kamu kan Ketua Osis. Kenapa nggak bikin program aja buat menyelamatkan bumi? Kalau nggak salah kan Pemkot bikin Bike to Work, kita bikin aja Bike to School." Lintang mengusulkan.
Gosh, Lintang. Kenapa kita bisa berpikiran sama sih? batin Kania.
"Boleh. I've been thinking about that actually. Makasih ya usulnya," kata Kania sambil tersenyum manis. Membuat jantung Lintang berdebar kencang saat melihatnya.
"Ka, aku denger kamu naik sepeda ke sekolah," todong Bonie, salah satu sahabat Kania.
Bel istirahat berdering, para siswa SMA Perwira Nasional berhamburan menuju kantin sekolah yang mungil tapi punya tempat makan favorit siswa yang nyaman karena outdoor di area taman. Tidak terkecuali Kania dan ketiga sahabatnya.
"Iya, emang kenapa?" tanya Kania sambil menyeruput es jeruk nipis kesukaannya kala matahari sedang terik-teriknya seperti sekarang.
"Apa kata anak-anak entar, Ka. Masa Ketua Osis naik sepeda? Emang bokap udah nggak mau nganter lagi?" tanya Prita yang selalu mementingkan image di depan orang lain.
"Kalo gue sih cuek aja, Ka. Bodo amat apa kata orang! Di Jakarta, orang yang nekat kayak elo jarang banget. Terusin aja, Ka. Besok gue juga naik sepeda deh ke sekolah." Berbeda dengan pendapat kedua temannya yang lain, Hera yang asli Jakarta malah mendukung Kania.
Kania pun menceritakan tentang artikel yang dibacanya kemarin. "Kalian nggak harus ngikutin caraku kok, kalian boleh ke sekolah naik apa aja sesuka kalian. Tapi usahain jangan bikin polusi semakin meningkat," lanjut Kania.
"Oh gitu ya, Ka. Kemarin aku juga baca artikel kayak gitu juga sih. Ngeri emang ngebayangin kalo bumi kita hancur dalam waktu dekat," sahut Bonie.
"Berarti kita mati muda dong?! NO...!" seru Prita heboh. "Aku kan masih pengen jadi bintang film di Hollywood. Kalo 30 tahun lagi bumi udah hancur, aku nggak bisa ke Hollywood dong!"
"Ya udah, besok lu berangkat ke sekolah naik bemo aja, Prit," kata Hera asal, membuahkan tawa yang mendengarnya. Naik angkutan umum adalah hal yang paling nggak mungkin Prita lakukan. Pikiran-pikiran parno mengenai bemo pun langsung menyergapnya. Prita pun memandang Kania, minta pertolongan.
"Kalo nggak mau naik bemo ya naik sepeda aja, Prit," usul Kania yang malah membuahkan tawa yang semakin keras dari teman-temannya. Membayangkan Prita mengayuh sepeda bakal sama seperti membayangkan betapa lucunya seorang putri manja yang naik sepeda pancal ke sekolah.
"Atau kamu bisa bareng sama aku ke sekolah, Prit. Emang sih mobilku nggak senyaman Mercedez-mu. Apalagi aku barengan sama dua adikku yang masih SD, tapi masih ada tempat kosong kalau kamu mau nebeng. Gimana?" Bonie memberi usul yang kali ini masih agak masuk akal.
"Iya, Prit. Rumah kalian kan sekomplek, barengan aja kan lebih efisien," timpal Kania.
Prita pun mengiyakan. "Ini semua demi mimpiku ke Hollywood," kata Prita menerawang. Kania, Bonie dan Hera pun tertawa terbahak melihat tingkah temannya ini.
Kania sudah menjadi pusat perhatian sejak ia mulai mengayuh sepedanya melewati pintu gerbang sekolahnya, bahkan satpam penjaga gerbang saja sampai tercengang.
"Kania?" sebuah suara menyapa Kania yang sedang mengunci sepeda pancalnya di tempat parkir motor.
"Hai, Lintang," sapa Kania, degup jantungnya mendadak semakin cepat. Diam-diam ia naksir sang Ketua Kelas di hadapannya ini.
"Kamu naik sepeda ke sekolah?" tanya Lintang sambil melirik sepeda yang masih tampak mulus di samping Kania.
Kania mengangguk. "Aku nggak mau mati muda soalnya," jawab Kania sambil berlalu, meninggalkan Lintang yang masih belum menangkap maksud jawaban Kania.
Lintang pun mengejar Kania yang melenggang masuk ke dalam sekolah. "Maksud kamu? Kamu nggak sedang mengidap penyakit parah, kan?" tanya Lintang setengah khawatir.
"Nggak kok, Lintang. Ini cuma supaya bumi kita nggak cepat hancur, aku baca di koran prediksinya 30 tahun dari sekarang. Masih banyak yang mau aku lakukan, masih pengen keliling dunia. Duh, pokoknya mati umur 47 masih terlalu muda!" Kania berseru histeris.
Lintang pun dibuat terdiam akan jawaban Kania yang polos itu. Selama ini ia tidak pernah notice hal-hal tentang global warming meski media juga tengah gencar menyiarkan. Tapi, penjelesan sederhana dari cewek yang selama ini ia kagumi ini ternyata mampu menyadarkannya tentang seberapa gawat keadaan bumi sekarang.
30 tahun? Gue juga masih pengen hidup di umur 47, batin Lintang.
"Ka, kamu kan Ketua Osis. Kenapa nggak bikin program aja buat menyelamatkan bumi? Kalau nggak salah kan Pemkot bikin Bike to Work, kita bikin aja Bike to School." Lintang mengusulkan.
Gosh, Lintang. Kenapa kita bisa berpikiran sama sih? batin Kania.
"Boleh. I've been thinking about that actually. Makasih ya usulnya," kata Kania sambil tersenyum manis. Membuat jantung Lintang berdebar kencang saat melihatnya.
"Ka, aku denger kamu naik sepeda ke sekolah," todong Bonie, salah satu sahabat Kania.
Bel istirahat berdering, para siswa SMA Perwira Nasional berhamburan menuju kantin sekolah yang mungil tapi punya tempat makan favorit siswa yang nyaman karena outdoor di area taman. Tidak terkecuali Kania dan ketiga sahabatnya.
"Iya, emang kenapa?" tanya Kania sambil menyeruput es jeruk nipis kesukaannya kala matahari sedang terik-teriknya seperti sekarang.
"Apa kata anak-anak entar, Ka. Masa Ketua Osis naik sepeda? Emang bokap udah nggak mau nganter lagi?" tanya Prita yang selalu mementingkan image di depan orang lain.
"Kalo gue sih cuek aja, Ka. Bodo amat apa kata orang! Di Jakarta, orang yang nekat kayak elo jarang banget. Terusin aja, Ka. Besok gue juga naik sepeda deh ke sekolah." Berbeda dengan pendapat kedua temannya yang lain, Hera yang asli Jakarta malah mendukung Kania.
Kania pun menceritakan tentang artikel yang dibacanya kemarin. "Kalian nggak harus ngikutin caraku kok, kalian boleh ke sekolah naik apa aja sesuka kalian. Tapi usahain jangan bikin polusi semakin meningkat," lanjut Kania.
"Oh gitu ya, Ka. Kemarin aku juga baca artikel kayak gitu juga sih. Ngeri emang ngebayangin kalo bumi kita hancur dalam waktu dekat," sahut Bonie.
"Berarti kita mati muda dong?! NO...!" seru Prita heboh. "Aku kan masih pengen jadi bintang film di Hollywood. Kalo 30 tahun lagi bumi udah hancur, aku nggak bisa ke Hollywood dong!"
"Ya udah, besok lu berangkat ke sekolah naik bemo aja, Prit," kata Hera asal, membuahkan tawa yang mendengarnya. Naik angkutan umum adalah hal yang paling nggak mungkin Prita lakukan. Pikiran-pikiran parno mengenai bemo pun langsung menyergapnya. Prita pun memandang Kania, minta pertolongan.
"Kalo nggak mau naik bemo ya naik sepeda aja, Prit," usul Kania yang malah membuahkan tawa yang semakin keras dari teman-temannya. Membayangkan Prita mengayuh sepeda bakal sama seperti membayangkan betapa lucunya seorang putri manja yang naik sepeda pancal ke sekolah.
"Atau kamu bisa bareng sama aku ke sekolah, Prit. Emang sih mobilku nggak senyaman Mercedez-mu. Apalagi aku barengan sama dua adikku yang masih SD, tapi masih ada tempat kosong kalau kamu mau nebeng. Gimana?" Bonie memberi usul yang kali ini masih agak masuk akal.
"Iya, Prit. Rumah kalian kan sekomplek, barengan aja kan lebih efisien," timpal Kania.
Prita pun mengiyakan. "Ini semua demi mimpiku ke Hollywood," kata Prita menerawang. Kania, Bonie dan Hera pun tertawa terbahak melihat tingkah temannya ini.
***
Esok paginya di sekolah.
Ketika sedang antri untuk memarkirkan sepedanya, Kania dibarengi seorang cowok yang juga naik sepeda pancal ke sekolah. Saat menoleh ke samping, ternyata cowok itu adalah Lintang.
"Lintang? Kamu...." tanya Kania takjub, tak menyangka Lintang yang tampak berwibawa ini akan mengikuti jejaknya.
"Aku juga nggak mau mati muda. Still have lots of things to do," jawab Lintang sembari tersenyum.
Kania dan Lintang pun memarkirkan sepedanya bersebelahan, hal itu tanpa mereka sadari menarik perhatian Hera yang tengah melintas usai memarkirkan sepedanya tepat di depan mereka.
"Duh, romatis bener! Sepedanya sampe diparkir sebelahan gitu," goda Hera sambil melenggang pergi.
Kania pun jadi blushing mendengarnya, ia lihat Lintang juga tampak bingung menyembunyikan wajahnya yang merona.
30 years is just too early for God's sake! ©
Ketika sedang antri untuk memarkirkan sepedanya, Kania dibarengi seorang cowok yang juga naik sepeda pancal ke sekolah. Saat menoleh ke samping, ternyata cowok itu adalah Lintang.
"Lintang? Kamu...." tanya Kania takjub, tak menyangka Lintang yang tampak berwibawa ini akan mengikuti jejaknya.
"Aku juga nggak mau mati muda. Still have lots of things to do," jawab Lintang sembari tersenyum.
Kania dan Lintang pun memarkirkan sepedanya bersebelahan, hal itu tanpa mereka sadari menarik perhatian Hera yang tengah melintas usai memarkirkan sepedanya tepat di depan mereka.
"Duh, romatis bener! Sepedanya sampe diparkir sebelahan gitu," goda Hera sambil melenggang pergi.
Kania pun jadi blushing mendengarnya, ia lihat Lintang juga tampak bingung menyembunyikan wajahnya yang merona.
30 years is just too early for God's sake! ©
Tidak ada komentar:
Posting Komentar