Ada tahun-tahun yang mengubah diri menjadi tangga
Setiap kali kita melangkah, setiap kali ia tengadah
— Sajak Raka'at, Kurnia Effendi, 2001
Setiap kali kita melangkah, setiap kali ia tengadah
— Sajak Raka'at, Kurnia Effendi, 2001
CHAPTER 1:
SEPANJANG BRAGA
SEPANJANG BRAGA
Aku tidak tahu apakah harus menyesal atau tidak. Tapi nyatanya, dibutuhkan waktu sepuluh tahun dan seratus buah lukisan untuk akhirnya membuat aku sadar.
"Anda suka?" Pengunjung di sebelahku mengawasiku.
"Aku? Ah... ya!" Suaraku baur, ada keraguan dan keterkejutan. Kupikir, terlalu lama aku terpaku.
"Lukisan ini memang bagus!" Nadanya menyerupai gumaman.
Aku mengangguk tercekat. Lantas kurasakan langit dalam lukisan membagi tempias hujan, mengiris dingin. Gigil menyergap.
"Pakailah jaket!" Kudengar suaramu dari masa lalu.
"Aku nggak dingin kok!" Tapi kukenakan juga jaket biru milikmu. Kamu membantu memasangkan topi.
Dan kemudian, di bawah gerimis yang menusuk, kita susuri Jalan Braga.
Ya, seperti juga mungkin harapanmu, bagiku, peristiwa itu perjalanan mimpi. Ratusan almanak berguguran, dan sepanjang musim aku hanya bisa menyebut namamu dengan sejumlah ragu.
"Kamu mengenalnya?" Dhani, sahabatku di SMA sempat menatapku tak percaya ketika aku sedikit bisa bercerita tentangmu. Sebagai pengagum berat karya-karyamu, ini 'kejutan besar' bagi dia.
Dan aku mengangguk, ragu. Bukankah kamu selalu menyebutku 'Adik Manis'?
"Ia... ia kakak yang baik!"
Sangat baik, kupikir. Aku tidak bisa melupakan saat Pak Pos tiba pagi-pagi di depan pintu. Ia mengantarkan bingkisan besar. Sebuah lukisan berjudul 'Prosa Perjalanan'. Di sudutnya, ada kartu kecil bertuliskan:
"Selamat ulangtahun, Adik Manis/Panjang usia, bahagia, pintar, dan bijaksana/Kado ini hanya bayang-bayang/Bandung, Juli 1988." Lantas, ada tanda tanganmu, ada stempel KKN-Unpad 1988 di baliknya.
Aku bahagia benar menerimanya. Antara percaya dan ragu, inilah kenyataan itu. Kamu, pelukis muda yang diperhitungkan di negeri ini, melukis khusus di tengah kesibukan KKN, hanya untuk menandai ulangtahunku. Ini kado istimewa menurutku, tapi anggapan itu kukubur rapat-rapat di batin.
"Ia kakak yang baik," berulang-ulang aku harus meyakinkan Dhani.
Berkali-kali, ia tampak demikian ingin mendengar aku bercerita banyak tentangmu. Ia cemburu. Aku — sahabatnya, yang tidak lebih baik dan cantik dibanding dia, mendapatkan kado khusus dari seorang pelukis ternama. Aku pikir, aku bukan pengidap megalomania. Maka selalu saja kuendapkan sensasi dalam-dalam. Aku berjanji untuk tidak membagi pengalaman batinku pada Dhani, juga pada siapa pun.
Aku punya alasan untuk tidak sekadar memancing cemburu Dhani. Di SMA kami, mendapatkan tanda tangan seorang artis penyanyi saja, bangganya bukan main. Aku hanya malu membayangkannya. Malu pada diri sendiri. Bayangkan, aku tidak mengenal kamu, selain melalui; foto dan berlembar-lembar surat. Waktu itu, seperti juga Dhani, aku mengagumi beberapa lukisanmu yang kutemui pada sebuah pameran di Jakarta. Lantas, sepulang ke Makassar setelah liburan sekolah itu, kukirim surat ke alamatmu. Disertai lukisan sederhana. Aku merasa sedikit bisa melukis — dan kini menyatakan niat besar untuk belajar banyak padamu.
Tak dinyana, engkau membalas dengan surat panjang. Benar-benar panjang, ada mungkin semeter. Meskipun lebar kertasnya tak lebih dari sepuluh senti. Aku pegal membacanya, tapi juga merasakan sensasi luar biasa. Kamu memuja-muja lukisanku — menyebutnya mirip goresan Vassily Kandinsky.
"Kamu sungguh berbakat, Adik Manis!" tulismu.
Dan, dadaku serasa pecah.
"Anda suka?" Pengunjung di sebelahku mengawasiku.
"Aku? Ah... ya!" Suaraku baur, ada keraguan dan keterkejutan. Kupikir, terlalu lama aku terpaku.
"Lukisan ini memang bagus!" Nadanya menyerupai gumaman.
Aku mengangguk tercekat. Lantas kurasakan langit dalam lukisan membagi tempias hujan, mengiris dingin. Gigil menyergap.
"Pakailah jaket!" Kudengar suaramu dari masa lalu.
"Aku nggak dingin kok!" Tapi kukenakan juga jaket biru milikmu. Kamu membantu memasangkan topi.
Dan kemudian, di bawah gerimis yang menusuk, kita susuri Jalan Braga.
Ya, seperti juga mungkin harapanmu, bagiku, peristiwa itu perjalanan mimpi. Ratusan almanak berguguran, dan sepanjang musim aku hanya bisa menyebut namamu dengan sejumlah ragu.
"Kamu mengenalnya?" Dhani, sahabatku di SMA sempat menatapku tak percaya ketika aku sedikit bisa bercerita tentangmu. Sebagai pengagum berat karya-karyamu, ini 'kejutan besar' bagi dia.
Dan aku mengangguk, ragu. Bukankah kamu selalu menyebutku 'Adik Manis'?
"Ia... ia kakak yang baik!"
Sangat baik, kupikir. Aku tidak bisa melupakan saat Pak Pos tiba pagi-pagi di depan pintu. Ia mengantarkan bingkisan besar. Sebuah lukisan berjudul 'Prosa Perjalanan'. Di sudutnya, ada kartu kecil bertuliskan:
"Selamat ulangtahun, Adik Manis/Panjang usia, bahagia, pintar, dan bijaksana/Kado ini hanya bayang-bayang/Bandung, Juli 1988." Lantas, ada tanda tanganmu, ada stempel KKN-Unpad 1988 di baliknya.
Aku bahagia benar menerimanya. Antara percaya dan ragu, inilah kenyataan itu. Kamu, pelukis muda yang diperhitungkan di negeri ini, melukis khusus di tengah kesibukan KKN, hanya untuk menandai ulangtahunku. Ini kado istimewa menurutku, tapi anggapan itu kukubur rapat-rapat di batin.
"Ia kakak yang baik," berulang-ulang aku harus meyakinkan Dhani.
Berkali-kali, ia tampak demikian ingin mendengar aku bercerita banyak tentangmu. Ia cemburu. Aku — sahabatnya, yang tidak lebih baik dan cantik dibanding dia, mendapatkan kado khusus dari seorang pelukis ternama. Aku pikir, aku bukan pengidap megalomania. Maka selalu saja kuendapkan sensasi dalam-dalam. Aku berjanji untuk tidak membagi pengalaman batinku pada Dhani, juga pada siapa pun.
Aku punya alasan untuk tidak sekadar memancing cemburu Dhani. Di SMA kami, mendapatkan tanda tangan seorang artis penyanyi saja, bangganya bukan main. Aku hanya malu membayangkannya. Malu pada diri sendiri. Bayangkan, aku tidak mengenal kamu, selain melalui; foto dan berlembar-lembar surat. Waktu itu, seperti juga Dhani, aku mengagumi beberapa lukisanmu yang kutemui pada sebuah pameran di Jakarta. Lantas, sepulang ke Makassar setelah liburan sekolah itu, kukirim surat ke alamatmu. Disertai lukisan sederhana. Aku merasa sedikit bisa melukis — dan kini menyatakan niat besar untuk belajar banyak padamu.
Tak dinyana, engkau membalas dengan surat panjang. Benar-benar panjang, ada mungkin semeter. Meskipun lebar kertasnya tak lebih dari sepuluh senti. Aku pegal membacanya, tapi juga merasakan sensasi luar biasa. Kamu memuja-muja lukisanku — menyebutnya mirip goresan Vassily Kandinsky.
"Kamu sungguh berbakat, Adik Manis!" tulismu.
Dan, dadaku serasa pecah.
CHAPTER 2:
LUKISAN CINTA KITA
LUKISAN CINTA KITA
Ketika aku menginjak bangku kuliah, kutemukan hubungan kita dalam bentuknya yang paling manis. Tiba-tiba saja aku merasa bahwa tidak ada gunanya pacaran. Buat apa? Aku memiliki seorang kakak yang sangat baik, yang memperhatikanku sedemikian rupa. Yang surat-suratnya menenteramkan. Yang mengirimi aku doa seperti sarapan pagi.
"Jangan sakit, ya! Jangan bikin Mas khawatir. Salam sayang dari jauh." Kamu selalu mengakhiri surat dari Bandung dengan kalimat yang kurang lebih sama.
Aku merasa tidak harus membayangkanmu terus-menerus. Berkali-kali aku disergap rasa malu bercampur ragu. Berkali-kali aku merasakan sensasi setiap usai membaca suratmu. Ini tidak adil. Aku telah meletakkan bayanganmu dengan hati-hati pada pojok hati terdalam. Seolah-olah engkau demikian dekat dan istimewa. Padahal bisa saja surat demikian berbeda dengan kenyataannya. Kamu pelukis terkenal, aku hanya seorang gadis kecil yang kebetulan menyukai lukisan — mungkin salah satu dari sekian penggemarmu. Apalagi menurut Dhani, seniman pada umumnya romantis — Dhani selalu mimpi memiliki pacar seorang seniman.
Karenanya, pada liburan kuliah, aku tidak bisa menahan diri untuk tidak terbang ke Bandung. Dan di sinilah kita, di bawah ruas hujan yang tajam mengilat, di sepanjang Braga.
"Entah kenapa, Braga senantiasa menjadi obsesiku. Setiap menyusuri Braga, aku selalu merasakan suatu ekstasi, menemukan dorongan kuat untuk terus melukis," katamu.
Barangkali Braga memang punya magis buat kita. Kamu dan aku betah menghabiskan hampir seluruh siang dan malam di Braga. Menikmati sekoteng, mendengarkan Braga Stone, mencermati sejumlah kerajinan tangan, mencuri baca di toko buku, menongkrongi kakilima, dan terus menyusur ke ujung: Gedung Konferensi Asia-Afrika....
Lalu balik lagi, dan berhenti. Karena gerimis menjelma hujan lebat. Kabut mengental menutup sebagian langit Bandung. Lampu-lampu berpendar lesi. Ini malam terakhir, dan aku harus pulang ke Makassar pagi-pagi esok. Saat itulah, kamu merangkulku untuk membagi hangat, dan sebagai tanda perpisahan... mencium pipiku di depan toko souvenir yang telah tutup....
Kala itu, dan kini, kurasakan hawa panas menjalari wajahku. Selama sembilanbelas tahun usiaku, itulah kali pertama aku merasakan dicium oleh seorang lelaki. Batinku ribut. Sementara seluruh ubin yang kuinjak telah menjelma menjadi gurun salju. Peristiwa itu sepuluh tahun lalu. Tapi tidak pernah lamur. Ia abadi dalam kanvas. Lukisan Sepanjang Braga inilah yang menjadi tema pameran tunggalmu kali ini. Lukisan yang menggambarkan suasana Braga di bawah guyuran hujan lebat, ketika seluruh cahaya menjadi pias, dan sunyi demikian meraja. Lukisan yang mengabadikan peristiwa itu: seorang lelaki merunduk mencium....
"Jangan sakit, ya! Jangan bikin Mas khawatir. Salam sayang dari jauh." Kamu selalu mengakhiri surat dari Bandung dengan kalimat yang kurang lebih sama.
Aku merasa tidak harus membayangkanmu terus-menerus. Berkali-kali aku disergap rasa malu bercampur ragu. Berkali-kali aku merasakan sensasi setiap usai membaca suratmu. Ini tidak adil. Aku telah meletakkan bayanganmu dengan hati-hati pada pojok hati terdalam. Seolah-olah engkau demikian dekat dan istimewa. Padahal bisa saja surat demikian berbeda dengan kenyataannya. Kamu pelukis terkenal, aku hanya seorang gadis kecil yang kebetulan menyukai lukisan — mungkin salah satu dari sekian penggemarmu. Apalagi menurut Dhani, seniman pada umumnya romantis — Dhani selalu mimpi memiliki pacar seorang seniman.
Karenanya, pada liburan kuliah, aku tidak bisa menahan diri untuk tidak terbang ke Bandung. Dan di sinilah kita, di bawah ruas hujan yang tajam mengilat, di sepanjang Braga.
"Entah kenapa, Braga senantiasa menjadi obsesiku. Setiap menyusuri Braga, aku selalu merasakan suatu ekstasi, menemukan dorongan kuat untuk terus melukis," katamu.
Barangkali Braga memang punya magis buat kita. Kamu dan aku betah menghabiskan hampir seluruh siang dan malam di Braga. Menikmati sekoteng, mendengarkan Braga Stone, mencermati sejumlah kerajinan tangan, mencuri baca di toko buku, menongkrongi kakilima, dan terus menyusur ke ujung: Gedung Konferensi Asia-Afrika....
Lalu balik lagi, dan berhenti. Karena gerimis menjelma hujan lebat. Kabut mengental menutup sebagian langit Bandung. Lampu-lampu berpendar lesi. Ini malam terakhir, dan aku harus pulang ke Makassar pagi-pagi esok. Saat itulah, kamu merangkulku untuk membagi hangat, dan sebagai tanda perpisahan... mencium pipiku di depan toko souvenir yang telah tutup....
Kala itu, dan kini, kurasakan hawa panas menjalari wajahku. Selama sembilanbelas tahun usiaku, itulah kali pertama aku merasakan dicium oleh seorang lelaki. Batinku ribut. Sementara seluruh ubin yang kuinjak telah menjelma menjadi gurun salju. Peristiwa itu sepuluh tahun lalu. Tapi tidak pernah lamur. Ia abadi dalam kanvas. Lukisan Sepanjang Braga inilah yang menjadi tema pameran tunggalmu kali ini. Lukisan yang menggambarkan suasana Braga di bawah guyuran hujan lebat, ketika seluruh cahaya menjadi pias, dan sunyi demikian meraja. Lukisan yang mengabadikan peristiwa itu: seorang lelaki merunduk mencium....
CHAPTER 3:
ADIK MANIS!
ADIK MANIS!
Aku membuang pandang dengan batin gelagapan, mencari-cari lelaki yang tadi ikut mengagumi lukisan adikaryamu itu. Ia telah menghilang. Susah payah, aku beringsut, menjauhi gambar yang nyaris menyulapku menjadi arca....
"Mengapa masih juga sendiri?" Pada langkah berikutnya, suaramu dari masa lampau kembali mengiang.
Kutelan ludah ketika kurasakan sebuah pusaran besar kembali menyeretku ke tengah. Lukisan berikutnya berjudul 'Kayu Bengkoang'. Sebuah tenda kakilima yang menyajikan seafood di pesisir Losari, Makassar. Ada dinding toko yang menjulang di kiri-kanannya. Meja-meja diletakkan memanjang. Pada salah satu bangku belakang kita pernah mengobrol berdua, mengais-ngais kenangan yang tersisa dari Braga.
Jauh di belakang hari, saat usiaku nyaris duapuluh, Arie — teman kuliahku sering menyangsikan, "Belum pernah pacaran?" Matanya meledek.
Aku harus bilang apa? Kenyataanya, aku memang belum bisa mengidentifikasi seperti apa sebetulnya mencintai itu. Sampai suatu ketika seorang laki-laki jangkung tiba-tiba berdiri di depan pintu ruang tamu. Ia teman kakakku. Ia juga menyapaku dengan kalimat, "Halo, Adik Manis!" Dan kurasakan, hawa Braga menguar di seputarku.
Ia mirip kamu. Setidaknya, kamu dalam bayangan idealku. Kalian pun sepantar, tujuh tahun di atas usiaku. Begitu banyak persamaan yang kujumpai. Sampai akhirnya aku memutuskan: aku tidak selamanya harus menjadi ledekan Arie.
Saat itulah kamu mengabariku cerita yang berbeda dari biasanya. "Barangkali aku tengah jatuh cinta sekarang," tulismu. "Kami sudah bertemu duapuluhdelapan kali, tapi baru tiga kali berbicara. Cinta platonis?"
Kutahan ceritaku sendiri tentang sosok jangkung itu. Aku bilang, "Aku senang mendengarnya. Mas harus berusaha terus, nggak boleh nyerah."
Hampir satu tahun berikutnya, aku mendapatkan sebuah undangan warna sepia yang dikirim dari Bandung, berlatar lukisan. Aku terpana justru bukan karena undangan itu dirancang demikian artistik, tapi oleh sebuah keajaiban cinta. Aku pikir, ternyata demikian sederhana prosesnya. Jatuh cinta, dan kemudian menikah. Tapi aku tidak merasakan kehilangan. Mungkin karena sosok jangkung yang membungkus bayanganmu itu sangat rajin meronce mimpi dalam tidurku.
Barangkali juga karena jarak kita jauh. Atau, karena aku tidak pernah berani memberikan tempat bagi pikiran yang ingin mencoba menganggapmu lebih dari seorang kakak.
Nyatanya, tidak semua cerita cinta itu mulus. Ada yang rumit, menurutku. "Kami hampir bertunangan, tapi akhirnya memilih berpisah. Empat tahun akhirnya seperti sia-sia," tuturku di puncak nyeri. Saat itu kita di 'Kayu Bengkoang', dan kamu menemukan airmata dalam suaraku.
"Tidak ada yang sia-sia. Setiap persoalan menyembunyikan hikmah," tatapanmu teduh. "Hanya, kalau boleh Mas tahu, kenapa memilih berpisah?"
Naif jika kini aku masih memirip-miripkan kalian. Karena, ternyata dia yang kukenal demikian cupat dan posesif. Mungkin aku mencintainya sungguh-sungguh. Tapi tidak sanggup menjadi bara yang memanaskan tungku kecemasan agar terus menyala. Aku merasa dunia terlalu luas jika hanya dilewatkan berdua.
"Mestinya ada suatu titik temu yang bisa dicari!" tukasmu.
Ya, mestinya....
Aku menggigit bibir. Bertepatan dengan itu, seseorang menyenggol lenganku, melontarkan aku keluar dari pusaran lukisan. Dalam sekejap, 'Kayu Bengkoang' lepas dari bayangan. Ketika menoleh kembali, lukisan itu telah diam. Kerongkonganku perih. Lalu kurasakan, suhu udara meningkat dalam ruang pamer seiring dengan kian bekunya seluruh sendi-sendi tulangku. Pengunjung masuk tanpa putus."bersambung"
"Mengapa masih juga sendiri?" Pada langkah berikutnya, suaramu dari masa lampau kembali mengiang.
Kutelan ludah ketika kurasakan sebuah pusaran besar kembali menyeretku ke tengah. Lukisan berikutnya berjudul 'Kayu Bengkoang'. Sebuah tenda kakilima yang menyajikan seafood di pesisir Losari, Makassar. Ada dinding toko yang menjulang di kiri-kanannya. Meja-meja diletakkan memanjang. Pada salah satu bangku belakang kita pernah mengobrol berdua, mengais-ngais kenangan yang tersisa dari Braga.
Jauh di belakang hari, saat usiaku nyaris duapuluh, Arie — teman kuliahku sering menyangsikan, "Belum pernah pacaran?" Matanya meledek.
Aku harus bilang apa? Kenyataanya, aku memang belum bisa mengidentifikasi seperti apa sebetulnya mencintai itu. Sampai suatu ketika seorang laki-laki jangkung tiba-tiba berdiri di depan pintu ruang tamu. Ia teman kakakku. Ia juga menyapaku dengan kalimat, "Halo, Adik Manis!" Dan kurasakan, hawa Braga menguar di seputarku.
Ia mirip kamu. Setidaknya, kamu dalam bayangan idealku. Kalian pun sepantar, tujuh tahun di atas usiaku. Begitu banyak persamaan yang kujumpai. Sampai akhirnya aku memutuskan: aku tidak selamanya harus menjadi ledekan Arie.
Saat itulah kamu mengabariku cerita yang berbeda dari biasanya. "Barangkali aku tengah jatuh cinta sekarang," tulismu. "Kami sudah bertemu duapuluhdelapan kali, tapi baru tiga kali berbicara. Cinta platonis?"
Kutahan ceritaku sendiri tentang sosok jangkung itu. Aku bilang, "Aku senang mendengarnya. Mas harus berusaha terus, nggak boleh nyerah."
Hampir satu tahun berikutnya, aku mendapatkan sebuah undangan warna sepia yang dikirim dari Bandung, berlatar lukisan. Aku terpana justru bukan karena undangan itu dirancang demikian artistik, tapi oleh sebuah keajaiban cinta. Aku pikir, ternyata demikian sederhana prosesnya. Jatuh cinta, dan kemudian menikah. Tapi aku tidak merasakan kehilangan. Mungkin karena sosok jangkung yang membungkus bayanganmu itu sangat rajin meronce mimpi dalam tidurku.
Barangkali juga karena jarak kita jauh. Atau, karena aku tidak pernah berani memberikan tempat bagi pikiran yang ingin mencoba menganggapmu lebih dari seorang kakak.
Nyatanya, tidak semua cerita cinta itu mulus. Ada yang rumit, menurutku. "Kami hampir bertunangan, tapi akhirnya memilih berpisah. Empat tahun akhirnya seperti sia-sia," tuturku di puncak nyeri. Saat itu kita di 'Kayu Bengkoang', dan kamu menemukan airmata dalam suaraku.
"Tidak ada yang sia-sia. Setiap persoalan menyembunyikan hikmah," tatapanmu teduh. "Hanya, kalau boleh Mas tahu, kenapa memilih berpisah?"
Naif jika kini aku masih memirip-miripkan kalian. Karena, ternyata dia yang kukenal demikian cupat dan posesif. Mungkin aku mencintainya sungguh-sungguh. Tapi tidak sanggup menjadi bara yang memanaskan tungku kecemasan agar terus menyala. Aku merasa dunia terlalu luas jika hanya dilewatkan berdua.
"Mestinya ada suatu titik temu yang bisa dicari!" tukasmu.
Ya, mestinya....
Aku menggigit bibir. Bertepatan dengan itu, seseorang menyenggol lenganku, melontarkan aku keluar dari pusaran lukisan. Dalam sekejap, 'Kayu Bengkoang' lepas dari bayangan. Ketika menoleh kembali, lukisan itu telah diam. Kerongkonganku perih. Lalu kurasakan, suhu udara meningkat dalam ruang pamer seiring dengan kian bekunya seluruh sendi-sendi tulangku. Pengunjung masuk tanpa putus."bersambung"
MULAN
by Effendy Wongso & Titaz
by Effendy Wongso & Titaz
Bagian Pertama Episode Satu
EPIK MAHARANA
EPIK MAHARANA
Bab 1
Sebenarnya aku melakukannya
bukan semata untuk Ayah
tetapi untukku sendiri!
sehingga sewaktu bercermin dulu
aku melihat seseorang yang berguna!
bukan semata untuk Ayah
tetapi untukku sendiri!
sehingga sewaktu bercermin dulu
aku melihat seseorang yang berguna!
- Fa Mulan
Refleksi Pedang Naga
Refleksi Pedang Naga
***
PROLOG
Apa yang dapat dilakukan seorang gadis belia seperti aku saat mengetahui bangsa ini di ambang maharana? Ketika menyadari kenyataan bahwa ayahku yang sudah tua masih saja harus mengangkat pedang menyongsong perang dan menghadapi musuh-musuh Dinasti Yuan? Sungguh, kenyataan itu demikian menyakitkan. Aku Fa Mulan. Lahir sebagai putri tunggal dalam Keluarga Fa. Mungkin aku akan menyesali diri, mengapa harus terlahir sebagai perempuan dan bukannya laki-laki. Ya, laki-laki. Laki-laki yang dapat melakukan segalanya, termasuk mewakili Keluarga Fa mengikuti wajib militer yang telah diamanatkan oleh Kaisar Yuan Ren Zhan kepada seluruh rakyat Tionggoan.
Mungkin.
Tetapi kenyataannya aku memang perempuan. Dan aku tidak dapat mengubah takdir langit itu kepada saya.
"Hei, sekarang giliran kamu!"
"Sa-saya, Inspektur Tang?"
"Iya, kamu! Memangnya siapa yang saya panggil?! Dari tadi saya lihat kamu melamun terus!"
"Maaf, Inspektur Tang."
"Nama kamu siapa?!"
"Mulan."
"Hah, Mulan?"
"Kenapa memangnya?"
"Jangan kurang ajar! Kamu ini calon wamil. Ditanya malah balik bertanya!"
"Memangnya ada yang salah pada nama saya, Inspektur Tang?"
"Cukup! Jangan membantah lagi! Benar nama kamu Mulan?"
"Benar, Inspektur Tang. Anda bisa baca manuskrip yang saya bawa. Di situ jelas-jelas tertulis nama saya."
"Kenapa nama kamu mirip nama perempuan?"
"Oh, kalau hal itu saya kurang paham, Inspektur Tang."
"Kurang paham bagaimana?! Jangan main-main, ya?!"
"Maaf. Sedari kecil saya memang diberikan nama perempuan, Inspektur Tang. Konon, waktu masih bayi saya sering sakit-sakitan. Untuk menghindari malapetaka, maka orangtua saya berinisiatif memberikan nama perempuan kepada saya untuk mengelabui setan-setan jahat yang suka memangsa orok laki-laki. Hihihi, lucu ya, Inspektur Tang?"
"Cukup, cukup! Jangan ketawa! Tidak ada yang lucu!"
"Maaf, Inspektur Tang."
"Di sini tertulis marga kamu Fa. Apa betul?"
"Betul, Inspektur Tang. Nama lengkap saya Fa Mulan. Fa yang berarti bunga, dan Mulan yang berarti Magnolia. Bunga Magnolia."
"Jangan cerewet! Saya tidak menanyai kamu soal itu. Bukan hanya kamu yang perlu saya daftar sebagai prajurit wamil. Lihat antrian di belakang kamu sudah sepanjang Tembok Besar."
"Oh, maaf, Inspektur Tang."
"Terlahir dari ayah bernama Fa Zhou dan ibu bernama Fa Li. Apa betul?"
"Betul, Inspektur Tang."
"Hei, Fa Zhou adalah ayah kamu?!"
"Betul, Inspektur Tang."
"Ya, ampun! Ternyata, kamu adalah anak Fa Zhou."
"Oh, jadi Inspektur Tang mengenal ayah saya?"
"Ya. Ayah kamu adalah sahabat saya semasa perang dulu. Dia purnawirawan prajurit Yuan yang sangat loyal. Dalam sebuah pertempuran bersama saya, kaki ayah kamu terluka oleh sabetan pedang musuh. Sebelah kakinya pincang selama-lamanya. Oleh karena itulah ayah kamu pensiun dari militer. Yah, mungkin juga karena usianya yang memang sudah tua."
"Wah, rupanya Inspektur Tang bukan orang lain."
"Ya, ya. Saya dan ayahmu sudah seperti saudara sekandung."
"Kalau begitu...."
"Hei, tapi setahu saya Fa Zhou tidak memiliki anak laki-laki!"
"O-oh, mung-mungkin...."
"Kenapa?"
"Mungkin karena Inspektur Tang khilaf. Menyangka saya yang laki-laki ini perempuan karena bernama perempuan. Bukankah begitu, Inspektur Tang?"
"Hm, mungkin. Mungkin."
"Nah, benar bukan?"
"Mungkin. Mungkin saya memang lupa. Hm, rupanya saya memang sudah tua."
"Betul, betul! Anda memang sudah tua, Inspektur Tang!"
"Fa Mulaaaaan!"
Mungkin.
Tetapi kenyataannya aku memang perempuan. Dan aku tidak dapat mengubah takdir langit itu kepada saya.
"Hei, sekarang giliran kamu!"
"Sa-saya, Inspektur Tang?"
"Iya, kamu! Memangnya siapa yang saya panggil?! Dari tadi saya lihat kamu melamun terus!"
"Maaf, Inspektur Tang."
"Nama kamu siapa?!"
"Mulan."
"Hah, Mulan?"
"Kenapa memangnya?"
"Jangan kurang ajar! Kamu ini calon wamil. Ditanya malah balik bertanya!"
"Memangnya ada yang salah pada nama saya, Inspektur Tang?"
"Cukup! Jangan membantah lagi! Benar nama kamu Mulan?"
"Benar, Inspektur Tang. Anda bisa baca manuskrip yang saya bawa. Di situ jelas-jelas tertulis nama saya."
"Kenapa nama kamu mirip nama perempuan?"
"Oh, kalau hal itu saya kurang paham, Inspektur Tang."
"Kurang paham bagaimana?! Jangan main-main, ya?!"
"Maaf. Sedari kecil saya memang diberikan nama perempuan, Inspektur Tang. Konon, waktu masih bayi saya sering sakit-sakitan. Untuk menghindari malapetaka, maka orangtua saya berinisiatif memberikan nama perempuan kepada saya untuk mengelabui setan-setan jahat yang suka memangsa orok laki-laki. Hihihi, lucu ya, Inspektur Tang?"
"Cukup, cukup! Jangan ketawa! Tidak ada yang lucu!"
"Maaf, Inspektur Tang."
"Di sini tertulis marga kamu Fa. Apa betul?"
"Betul, Inspektur Tang. Nama lengkap saya Fa Mulan. Fa yang berarti bunga, dan Mulan yang berarti Magnolia. Bunga Magnolia."
"Jangan cerewet! Saya tidak menanyai kamu soal itu. Bukan hanya kamu yang perlu saya daftar sebagai prajurit wamil. Lihat antrian di belakang kamu sudah sepanjang Tembok Besar."
"Oh, maaf, Inspektur Tang."
"Terlahir dari ayah bernama Fa Zhou dan ibu bernama Fa Li. Apa betul?"
"Betul, Inspektur Tang."
"Hei, Fa Zhou adalah ayah kamu?!"
"Betul, Inspektur Tang."
"Ya, ampun! Ternyata, kamu adalah anak Fa Zhou."
"Oh, jadi Inspektur Tang mengenal ayah saya?"
"Ya. Ayah kamu adalah sahabat saya semasa perang dulu. Dia purnawirawan prajurit Yuan yang sangat loyal. Dalam sebuah pertempuran bersama saya, kaki ayah kamu terluka oleh sabetan pedang musuh. Sebelah kakinya pincang selama-lamanya. Oleh karena itulah ayah kamu pensiun dari militer. Yah, mungkin juga karena usianya yang memang sudah tua."
"Wah, rupanya Inspektur Tang bukan orang lain."
"Ya, ya. Saya dan ayahmu sudah seperti saudara sekandung."
"Kalau begitu...."
"Hei, tapi setahu saya Fa Zhou tidak memiliki anak laki-laki!"
"O-oh, mung-mungkin...."
"Kenapa?"
"Mungkin karena Inspektur Tang khilaf. Menyangka saya yang laki-laki ini perempuan karena bernama perempuan. Bukankah begitu, Inspektur Tang?"
"Hm, mungkin. Mungkin."
"Nah, benar bukan?"
"Mungkin. Mungkin saya memang lupa. Hm, rupanya saya memang sudah tua."
"Betul, betul! Anda memang sudah tua, Inspektur Tang!"
"Fa Mulaaaaan!"
***
"Siapa lagi nama pemuda itu, A Lang?"
"Namanya Tong Hui Kong, Nyonya Fa!"
"Oh, ya, ya. Ah, saya selalu lupa nama calon suami untuk Mulan, A Lang. Yah, semoga dia pemuda
yang baik."
"Jangan khawatir, Nyonya Fa. Pemuda itu berasal dari keluarga terpandang. Orangtuanya sangat kaya. Saya yakin dia merupakan suami yang paling tepat untuk Nona Fa."
"Ya, ya. Semoga mereka cocok. Supaya saya dapat lekas menimang cucu laki-laki."
"Namanya Tong Hui Kong, Nyonya Fa!"
"Oh, ya, ya. Ah, saya selalu lupa nama calon suami untuk Mulan, A Lang. Yah, semoga dia pemuda
yang baik."
"Jangan khawatir, Nyonya Fa. Pemuda itu berasal dari keluarga terpandang. Orangtuanya sangat kaya. Saya yakin dia merupakan suami yang paling tepat untuk Nona Fa."
"Ya, ya. Semoga mereka cocok. Supaya saya dapat lekas menimang cucu laki-laki."
- Fa Li Calon Suami untuk Putriku
***
TIONGGOAN (1208-1244 M)
Satu kalpa setelah pembebasan Tsun Gokong dari kurungan goa Dewata di langit, maka layaknya fenomena alam yang sering terjadi, meledaklah sebuah bintang mahabesar ke segala penjuru jagad raya nan pekat gulita. Partikel debu berpencaran, mengelana membentuk sebuah kehidupan baru. Maka terbentuklah semesta hasil nova. Bimasakti, sebuah galaksi raksasa dengan paradigma kehidupannya yang baur.
Gadis itu embusan dari langit.
Ia diberi kekuatan terpendam chi Dewata. Setangkai kembang Magnolia Dewata yang diturunkan dari nirwana untuk meluruskan sebagian dari sejarah manusia yang babur. Para pembatil yang mengisi bumi dengan pertumpahan darah. Dan ketika kekuasaan memporak-porandakan peradaban, maka ia hadir sebagai pahlawan. Sebuah predestinasi yang telah digariskan oleh Sang Khalik. "Mulan...."
Putri tunggal Keluarga Fa itu berlari seperti biasa. Ditinggalkannya teko berisi teh hijau yang baru saja hendak diseduhkan untuk ayahnya. Teriakan yang lebih menyerupai lengkingan itu mesti digubris, melalaikan rutinitas pagi atas inisiatif pengabdian terhadap ayahnya. Kalau tidak, pasti ada teriakan lain yang datang susul menyusul seolah tanpa henti. Teriakan berarogansi yang lebih berisik dari sangkakala sepanjang lima depa milik para Lama Tantrayana di Kuil Potala, Tibet.
Ia masih berlari.
Dilewatinya selasar halaman tengah rumah sampai berhenti di ruang dalam rumah. Perempuan gemuk itu sudah menanti dengan wajah berkerut seperti kulit jeruk yang meringsing. Berkacak pinggang sembari menatap nanar ke kedalaman sepasang matanya.
Dilihatnya perempuan bernama Fa Li itu menggeleng-geleng kepala. Cetusan tingkah antipati tersebut sudah terbaca dalam benaknya bahwa, ibunya itu tidak senang melihat sikap seorang Fa Mulan, putri tunggalnya. Namun, sedari dulu juga perempuan itu memang begitu. Sebab, ia sadar, ia memang keras kepala lantaran tidak mau manut barang sebentar pun menjadi perempuan sesuai keinginan ibunya itu.
Nyaris sepanjang hidup, perempuan itu berharap sangat agar anak gadisnya dapat menjadi perempuan. Tetapi rupanya Dewata bergeming, mungkin begitu pikirnya. Anak gadis satu-satunya tumpuan harap jauh panggang dari api. Asanya lantak berderai. Apa yang salah pada dirinya? Mungkinkah ada benang merah kesalahan dan dosa masa lalu yang pernah dilakukannya sehingga membuahkan karma buruk pada kehidupannya sekarang?!
"Mulaaaaan!"
"Sabar sedikit, Ibu!"
Dilihatnya perempuan itu mengentakkan kakinya ke lantai. Ya, Dewata! keluhnya. Ia benci melihat hal itu. Suatu kebiasaan yang tidak terpuji. Ya, tidak terpuji. Sebab ia tahu benar, kalau sudah begitu, maka serentetan kalimat bernada sinis akan keluar dari mulut lebar ibunya tersebut.
Dan apa yang telah terbayangkan sebelumnya memang telah menjadi kenyataan. Sekedip mata kemudian perempuan bertubuh besar itu pun telah misuh-misuh serupa bunyi tutup teko tembikar akibat ruapan air mendidih di atas tungku api.
"Ada apa, Ibu?!"
Sejak lahir, ia memang tidak pernah dianggap. Pasalnya, ibu yang mengandungnya selama sembilan bulan mengharapkan sang Janin akan terlahir laki-laki. Perempuan itu mengidam-idamkan anak laki-laki. Karena, hanya laki-lakilah yang dapat meneruskan kelangsungan marga Fa. Namun semua angan perempuan itu melayang ke langit kala mendapati kenyataan bahwa sang Janin yang dilahirkannya ternyata berkelamin perempuan.
Ya, Dewata!
Alangkah kecewanya perempuan itu sampai-sampai pernah mengutuk dan mengatakan kalau sang Bayi mungil tersebut merupakan jelmaan iblis yang memangsa janin laki-laki yang dikandungnya.
"Sudah dua hari Shang Weng tidak mengunjungimu. Ke mana dia?!"
Ia mengembuskan napas keras. Sejenak mematung serupa sano. Pandangannya mendadak verba seiring sontak umpat yang berloncatan di benaknya. Ya, Dewata! Sungguh, sungguh keliru ia menafsir apa yang menjadi sumber kegusaran ibunya yang tidak beraasan hari ini. Sumpah, disangkanya ada serbuan asing dari pasukan pemberontak Han yang sudah takluk, kembali lagi ke barak-barak mereka di Utara, atau invasi Mongolia ke Da-du yang untuk sementara berhasil digagalkan. Namun, ternyata hanyalah pertanyaan kiasan selitani prosa Lao Tzu, yang sudah dihapalnya dalam benak sampai terbawa mimpi.
Untuk itu, ia menggerutu dalam hati. Terus-terang, ia tidak mau bersitegang dan beradu mulut dengan ibunya lagi. Sekian belas tahun, setiap hari dan setiap waktu, pertengkaran merupakan warna dalam hidupnya. Pertengkaran sudah menjadi ritualitas yang mesti dimafhumi. Sungguh, ia sudah lelah. Sangat lelah.
Shang Weng yang dimaksud ibunya itu tidak lain adalah pemimpin para prajurit di Kamp Utara, Tung Shao. Bersamanya, mereka bahu membahu melawan pasukan pemberontak Han pimpinan Han Chen Tjing yang berkonspirasi dengan Jenderal Shan-Yu untuk menggulingkan kekuasaan Kaisar Yuan Ren Zhan. Ia tahu, setelah ibunya mengetahui Shang Weng jatuh hati kepadanya, maka sontak perempuan nyinyir itu menganggap hal tersebut merupakan anugerah yang terindah dalam hidupnya.
Tentu saja.
Selama ini, ibunya pasti sudah bosan mendengar rumor tetangga tentang statusnya yang masih melajang. Dan sudah barang tentu pula sebagai 'ibu yang baik', perempuan itu tidak ingin putrinya dijuluki perawan tua. Saban hari ibunya diresahkan dengan masalah calon pendamping dan calon pendamping yang belum kunjung tiba untuk putri tunggalnya. Padahal, gadis-gadis sebaya seorang Fa Mulan sudah banyak yang dipinang orang. Berstatus istri, menjadi ibu rumah tangga, dan melahirkan anak laki-laki yang lucu-lucu serta montok-montok. Sudah sekian tahun pula perempuan itu pasti merindukan dapat menimang seorang cucu. Cucu laki-laki!
Namun, ia sadar, renjana indah ibunya itu ambyar setelah mengetahui seorang Fa Mulan malah berkorban mendaftarkan diri sebagai prajurit wamil, menggantikan ayahnya yang sudah tua. Ya, Dewata! Meski tidak melihat sendiri, ia tahu perempuan itu pasti menangis tiga hari tiga malam sampai-sampai airmatanya mengering.
Bukan karena sedih takut terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan terhadap seorang Fa Mulan, tetapi lebih karena semua harapannya, menimang cucu laki-laki, telah hancur berantakan. Bukan itu saja. Ia menangis sejadi-jadinya karena sadar kalau anak gadisnya yang baru jalan tujuh belas itu bahkan, akan semakin menjadi laki-laki.
"Dia sibuk mengurus negara!" jawabnya enteng menanggapi pertanyaan ibunya yang kesusu. "Mana bisa hanya mengurusi Fa Mulan seorang saja?!"
"Sibuk?!" Perempuan bernama Fa Li itu balik bertanya, mengerutkan kening, membentuk empat garis tipis pada dahinya. Ya, Dewata! Di matanya, perempuan itu tampak lebih tua dari usia Tembok Besar. "Tapi, sudah dua hari dia tidak ke rumah kita!"
"Dua tahun juga tidak apa-apa!" timpalnya dengan kalimat seringan gingkang. "Baru juga dua hari tapi Ibu seperti kebakaran kucir saja!"
"Eh, anak ini!" Dilihatnya kembali perempuan itu berkacak pinggang. Matanya semelotot ikan maskoki. "Ditanya...."
"Habis...."
"Kalau Ibu menanyai kamu, itu berarti Ibu peduli sama kamu! Itu berarti Ibu sayang sama kamu! Bukannya sok mengatur hidup kamu!"
"Iya, tahu!" Ia mendengus, melengos dengan rupa tidak senang. "Kapan Ibu tidak mengatur hidup saya?!"
"Eh, tega-teganya kamu bilang begitu kepada Ibu, ya?!"
"Memang dia lagi sibuk!"
"Mulan!" Perempuan separo baya itu menghela napas, matanya mendelik dan memejam hampir bersamaan. "Kalau ditanya, jangan membangkang begitu!"
Ia mengusap wajah. "Habis, saya harus bilang apa, Ibu?! Semua perkataan saya selalu salah. Apa-apa pasti salah!"
"Ingat, Ibu marah demi kebaikan kamu juga."
"Kebaikan apa kalau selama ini saya selalu merasa tersisih, disudutkan sejak dulu. Ibu memang tidak pernah bersikap adil terhadap saya!"
"Ibu mana yang tidak ingin melihat anaknya bahagia, Mulan?!"
"Oh, jadi apa yang selama ini Ibu lakukan untuk saya semata-mata demi membahagiakan saya?!" Ia membeliak, sedikit merasa gusar saat kenangan lama masa kanak-kanaknya yang terkekang oleh kelakuan seorang Fa Li mengiang kembali di benaknya. "Apakah kelakuan Ibu yang otoriter itu dapat dianggap membahagiakan hidup saya?!"
"Kamu terlalu naif menanggapi didikan keras Ibu!"
"Ibu bukan mendidik keras supaya saya disiplin, bukan itu! Tapi apa yang Ibu lakukan terhadap saya selama ini merupakan ketidakadilan. Ya, ketidakadilan!"
"Cukup, Mulan!" bentak perempuan itu. "Jangan mentang-mentang kamu sudah jadi orang dan pahlawan Yuan sehingga berani melawan Ibu!"
"Saya tidak melawan Ibu. Saya bukan membantah Ibu. Tapi saya hanya ingin Ibu membuka mata atas apa yang telah Ibu lakukan terhadap saya."
"Oh, Dewata nan Agung!" Dilihatnya dengan ekor matanya ibunya mendongakkan kepala, seperti menerawangi atap rumah untuk berbicara dengan Sang Penguasa Langit nun jauh di atas sana. "Beginikah hasil yang saya peroleh setelah bersusah-payah membesarkan anak ini?!"
"Sudahlah, Ibu. Jangan meratap-ratap seperti anak kecil begitu lagi. Percuma. Dewata tidak akan menggubris tangisan Ibu. Dewata pasti tahu kelakuan Ibu yang tiran sejak dahulu kala terhadap saya!"
Ya, Dewata!
Setiap hari perempuan bertubuh besar serupa guci air itu marah-marah. Seolah-olah seorang Fa Li sedang melakoni satu peran sebagai ibu tiri dalam sebuah opera. Dan seorang Fa Mulan adalah anak tirinya yang mesti ditimpali dengan amarah. Entah karma apa yang telah ditanamnya pada masa lampau sehingga menuai ironi di masa sekarang.
"Mulan! Tega-teganya kamu bersikap begitu terhadap Ibu!"
Dilihatnya perempuan separo baya itu berlari ke sudut ruang. Mengempaskan pinggulnya yang besar ke bangku, serta menelungkupkan kepalanya yang sebesar lampion ke atas meja kayu. Ia tersedu. Menangis sesenggukan tanpa airmata.
Ia mencibir dari belakang. Ibunya selalu begitu. Kalau sudah terdesak, maka ia pasti mengeluarkan airmata, meraung-raung seperti bayi. Lalu skenario berikutnya, ia akan menjerit-jerit dan memukul-mukul dadanya sembari menyebut sederet nama leluhur Keluarga Fa. Leluhur Keluarga Fa yang sudah mengembara ke alam baka. Leluhur Keluarga Fa dari generasi pertama sampai mutakhir.
Herannya, perempuan itu dapat menghapal ratusan bahkan ribuan nama berantropologi Fa! Jadi kalau sudah begitu pula, ia pasti mendengar seorang Fa Li merunut nama sesepuh Fa satu per satu, seperti malaikat penjaga kubur sedang membaca daftar nama orang yang sudah meninggal, yang antri hendak ke nirwana!
"Oh, para leluhur Keluarga Fa! Karma apa yang saya perbuat hingga putri kandung saya sendiri, Fa Mulan, berani menentang saya?! Oh, dosa dan kesalahan apa yang telah saya perbuat pada kehidupan yang lalu sehingga ditimpakan kesengsaraan ini?!"
"Sudahlah, Ibu! Tidak usah bermain opera begitu! Toh Ibu tidak bakal terpilih lagi sebagai protagonis. Sekarang, Ibu bukan lagi Dewi Purnama. Ibu sudah tua!" Perempuan itu semakin meraung-raung seperti bayi. Ya, Dewata! Entah apa yang harus ia perbuat kini. Rasa-rasanya, ia sudah tidak sanggup menghadapi tingkah kekanak-kanakan ibunya itu meski ia tahu, semua tingkahnya tersebut hanya pura-pura. Sekian belas tahun diakrabinya kelakuan tengil ibunya sehingga tahu aktualitas dan kebohongan yang hanya setipis sebilah rambut. Apologis dan pembantahan hanya akan merunyamkan masalah. Lalu pada akhirnya, bukannya menyudahi kelakuan tengilnya, perempuan itu malah semakin menjadi-jadi. Ia akan memukul-mukul papan meja dengan kedua belah telapak tangannya dan sesekali membentur-benturkan kepalanya di atas papan meja, pelan.
Ia tahu, akar permasalahannya bermuasal dari sini. Karena ia perempuan. Bukan laki-laki. Ya, Dewata! Sepele memang. Namun efek yang ditimbulkan dari genderisasi tersebut telah menjadikannya orang yang terbuang dari Keluarga Fa.
Seingatnya, nyaris tidak ada persoalan serius dalam keluarganya. Tetapi bagi ibunya, sebuah persoalan sepele apa pun yang menyangkut seorang Fa Mulan akan mendatangkan kiamat. Terlambat bangunlah. Cucian yang hilang di sungailah. Terlalu dekat dengan teman laki-lakilah. Sampai cara ia tertawa, berbicara, dan berjalan pun selalu mendatangkan kritik serta masalah!
Masih terngiang pula, sarat beban yang mesti dipikulnya sebagai seorang gadis yang beranjak akil-balig empat tahun silam sebelum ia menyusup dan menyamar sebagai laki-laki ke dalam kamp militer Yuan. Menikah di usia belia merupakan pilihan dan jalan satu-satunya dalam hidupnya sebagai seorang perempuan. Sebuah beban psikis yang tidak pernah dapat diterimanya dengan legawa.
Ia dibentuk untuk menjadi perempuan yang sesungguhnya . Ia ditempa untuk menjadi 'orang lain', yang manut pada aturan baku dan leluri. Namun jujur ia tidak bisa. Ia memberontak. Dan sengaja menggagalkan acara penjodohan dengan laki-laki pilihan ibunya-seorang pemuda dari puak terpandang atas perantara seorang makcomblang bernama Liem Sui Lang.
Lalu ketika semuanya lantak berderai, pembantahannya yang tanpa apologi tersebut ditimpali dengan seribu serapah. Ia dipukul dan diusir oleh ibunya dari rumah. Pembelaan untuknya justru selalu datangnya dari Fa Zhou, ayahnya yang lembut dan baik hati.
"Anak tidak tahu diri!"
"Sudahlah. Jangan menghukum Mulan sedemikian beratnya. Pernikahan tanpa didasari cinta bukanlah tindakan bijak. Mulan berhak menentukan pilihannya sendiri. Kalau dia belum siap menikah, sebagai orangtua, kita tidak boleh memaksakan kehendak. Biarlah jodoh Mulan diatur oleh Dewata. Bukannya kita!"
"Tahu apa kamu tentang Mulan, Fa Zhou!"
Ya, pada dasarnya ia tidak bisa berpura-pura menjadi orang lain. Ia tidak bisa menjadi perempuan kemayu yang ditingkahi feminitas palsu. Ia tidak bisa bersandiwara. Ia ingin menjadi dirinya sendiri. Ia ingin menjadi seorang Fa Mulan yang ceria dan dinamis, tidak diikat oleh sebuah pranata gender. Ia adalah seorang Fa Mulan yang enerjik, bukan gadis pendiam serupa arca yang hanya tahu mengurusi tetek bengek rumah tangga - melahirkan dan mengasuh anak, serta menjadi budak seks bagi sang Suami di atas ranjang.
Menurutnya, seorang gadis tidak mesti melulu berurusan dengan rumah tangga dan dapur. Banyak hal yang dapat dilakukan seorang gadis. Pasungan pranata telah melukai demikian banyak hati perempuan. Mereka mati perlahan-lahan dalam kurungan emas sangkar madu. Semestinya, seorang gadis tidak boleh dijajah lagi oleh adat istiadat yang meleluri. Seorang gadis harus memberontak. Seorang gadis harus merombak kultur gender yang sudah mendarah daging di Tionggoan.
Itulah sebabnya ia selalu diam-diam mempelajari ilmu silat keluarga Fa, satu hal yang amat tabu bagi kaum perempuan, Pedang Naga Fa dari kitab kuno karangan leluhur Keluarga Fa. Sebuah mustika terpenting yang disimpan ayahnya di salah satu tumpukan buku sejarah Keluarga Fa.
Dulu, ketika ayahnya berlatih wushu, ia selalu mengintip dari balik tembok ruangan khusus tempat latihan. Selang berikutnya, ia menghapal kemudian memperagakan ilmu silat yang dilihatnya diam-diam tadi di dalam kamarnya. Dikembangkannya beberapa jurus yang dianggap lebih dinamis. Setelah itu memperdalam lantas memperkaya salah satu jurus keluarga Fa, Telapak Fa yang dahsyat. Bahkan, juga menciptakan sendiri jurus-jurus baru. Di antaranya adalah Tinju Bunga Matahari yang gemulai tetapi bertenaga, dan Tinju Hong Terbang yang gesit dinamik.
Namun lepas dari semua itu, ia memang bukan gadis tipe calon ibu rumah tangga yang baik. Ia tidak memiliki fisik ideal seperti dambaan banyak lelaki. Ia tidak memiliki pinggul besar yang diyakini dapat memberikan banyak keturunan dan anak laki-laki kepada sang suami, seperti kultur orang-orang Tionggoan selama ini.
Pinggulnya kecil. Dadanya nyaris rata. Tidak ada sepasang bukit daging yang menggumpal menggiurkan, salah satu andil libido dan ereksi pada penis laki-laki selama ini. Tubuhnya terlalu kurus. Bahkan terlalu kerempeng sehingga menyerupai toya. Dan tingkahnya tidak gemulai layaknya gadis-gadis lain.
Ia sadar pula kalau ibunya pernah menyesali memiliki putri seperti seorang Fa Mulan. Ibunya tidak pernah bersikap manis kepadanya. Ibunya tidak pernah menunjukkan rasa sayang layaknya ibu sejati kepada anaknya yang tunggal. Tidak ada afeksi dari perempuan gemuk itu seperti dambanya selama ini.
Hanya ayahnya sajalah yang sangat mencintainya!
Hanya ayah pulalah yang sering memberinya semangat untuk tetap tegar setelah diantipati oleh ibunya. Juga ayahlah yang menghiburnya setelah gagal pada acara penjodohan beberapa tahun lalu itu.
Gadis itu embusan dari langit.
Ia diberi kekuatan terpendam chi Dewata. Setangkai kembang Magnolia Dewata yang diturunkan dari nirwana untuk meluruskan sebagian dari sejarah manusia yang babur. Para pembatil yang mengisi bumi dengan pertumpahan darah. Dan ketika kekuasaan memporak-porandakan peradaban, maka ia hadir sebagai pahlawan. Sebuah predestinasi yang telah digariskan oleh Sang Khalik. "Mulan...."
Putri tunggal Keluarga Fa itu berlari seperti biasa. Ditinggalkannya teko berisi teh hijau yang baru saja hendak diseduhkan untuk ayahnya. Teriakan yang lebih menyerupai lengkingan itu mesti digubris, melalaikan rutinitas pagi atas inisiatif pengabdian terhadap ayahnya. Kalau tidak, pasti ada teriakan lain yang datang susul menyusul seolah tanpa henti. Teriakan berarogansi yang lebih berisik dari sangkakala sepanjang lima depa milik para Lama Tantrayana di Kuil Potala, Tibet.
Ia masih berlari.
Dilewatinya selasar halaman tengah rumah sampai berhenti di ruang dalam rumah. Perempuan gemuk itu sudah menanti dengan wajah berkerut seperti kulit jeruk yang meringsing. Berkacak pinggang sembari menatap nanar ke kedalaman sepasang matanya.
Dilihatnya perempuan bernama Fa Li itu menggeleng-geleng kepala. Cetusan tingkah antipati tersebut sudah terbaca dalam benaknya bahwa, ibunya itu tidak senang melihat sikap seorang Fa Mulan, putri tunggalnya. Namun, sedari dulu juga perempuan itu memang begitu. Sebab, ia sadar, ia memang keras kepala lantaran tidak mau manut barang sebentar pun menjadi perempuan sesuai keinginan ibunya itu.
Nyaris sepanjang hidup, perempuan itu berharap sangat agar anak gadisnya dapat menjadi perempuan. Tetapi rupanya Dewata bergeming, mungkin begitu pikirnya. Anak gadis satu-satunya tumpuan harap jauh panggang dari api. Asanya lantak berderai. Apa yang salah pada dirinya? Mungkinkah ada benang merah kesalahan dan dosa masa lalu yang pernah dilakukannya sehingga membuahkan karma buruk pada kehidupannya sekarang?!
"Mulaaaaan!"
"Sabar sedikit, Ibu!"
Dilihatnya perempuan itu mengentakkan kakinya ke lantai. Ya, Dewata! keluhnya. Ia benci melihat hal itu. Suatu kebiasaan yang tidak terpuji. Ya, tidak terpuji. Sebab ia tahu benar, kalau sudah begitu, maka serentetan kalimat bernada sinis akan keluar dari mulut lebar ibunya tersebut.
Dan apa yang telah terbayangkan sebelumnya memang telah menjadi kenyataan. Sekedip mata kemudian perempuan bertubuh besar itu pun telah misuh-misuh serupa bunyi tutup teko tembikar akibat ruapan air mendidih di atas tungku api.
"Ada apa, Ibu?!"
Sejak lahir, ia memang tidak pernah dianggap. Pasalnya, ibu yang mengandungnya selama sembilan bulan mengharapkan sang Janin akan terlahir laki-laki. Perempuan itu mengidam-idamkan anak laki-laki. Karena, hanya laki-lakilah yang dapat meneruskan kelangsungan marga Fa. Namun semua angan perempuan itu melayang ke langit kala mendapati kenyataan bahwa sang Janin yang dilahirkannya ternyata berkelamin perempuan.
Ya, Dewata!
Alangkah kecewanya perempuan itu sampai-sampai pernah mengutuk dan mengatakan kalau sang Bayi mungil tersebut merupakan jelmaan iblis yang memangsa janin laki-laki yang dikandungnya.
"Sudah dua hari Shang Weng tidak mengunjungimu. Ke mana dia?!"
Ia mengembuskan napas keras. Sejenak mematung serupa sano. Pandangannya mendadak verba seiring sontak umpat yang berloncatan di benaknya. Ya, Dewata! Sungguh, sungguh keliru ia menafsir apa yang menjadi sumber kegusaran ibunya yang tidak beraasan hari ini. Sumpah, disangkanya ada serbuan asing dari pasukan pemberontak Han yang sudah takluk, kembali lagi ke barak-barak mereka di Utara, atau invasi Mongolia ke Da-du yang untuk sementara berhasil digagalkan. Namun, ternyata hanyalah pertanyaan kiasan selitani prosa Lao Tzu, yang sudah dihapalnya dalam benak sampai terbawa mimpi.
Untuk itu, ia menggerutu dalam hati. Terus-terang, ia tidak mau bersitegang dan beradu mulut dengan ibunya lagi. Sekian belas tahun, setiap hari dan setiap waktu, pertengkaran merupakan warna dalam hidupnya. Pertengkaran sudah menjadi ritualitas yang mesti dimafhumi. Sungguh, ia sudah lelah. Sangat lelah.
Shang Weng yang dimaksud ibunya itu tidak lain adalah pemimpin para prajurit di Kamp Utara, Tung Shao. Bersamanya, mereka bahu membahu melawan pasukan pemberontak Han pimpinan Han Chen Tjing yang berkonspirasi dengan Jenderal Shan-Yu untuk menggulingkan kekuasaan Kaisar Yuan Ren Zhan. Ia tahu, setelah ibunya mengetahui Shang Weng jatuh hati kepadanya, maka sontak perempuan nyinyir itu menganggap hal tersebut merupakan anugerah yang terindah dalam hidupnya.
Tentu saja.
Selama ini, ibunya pasti sudah bosan mendengar rumor tetangga tentang statusnya yang masih melajang. Dan sudah barang tentu pula sebagai 'ibu yang baik', perempuan itu tidak ingin putrinya dijuluki perawan tua. Saban hari ibunya diresahkan dengan masalah calon pendamping dan calon pendamping yang belum kunjung tiba untuk putri tunggalnya. Padahal, gadis-gadis sebaya seorang Fa Mulan sudah banyak yang dipinang orang. Berstatus istri, menjadi ibu rumah tangga, dan melahirkan anak laki-laki yang lucu-lucu serta montok-montok. Sudah sekian tahun pula perempuan itu pasti merindukan dapat menimang seorang cucu. Cucu laki-laki!
Namun, ia sadar, renjana indah ibunya itu ambyar setelah mengetahui seorang Fa Mulan malah berkorban mendaftarkan diri sebagai prajurit wamil, menggantikan ayahnya yang sudah tua. Ya, Dewata! Meski tidak melihat sendiri, ia tahu perempuan itu pasti menangis tiga hari tiga malam sampai-sampai airmatanya mengering.
Bukan karena sedih takut terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan terhadap seorang Fa Mulan, tetapi lebih karena semua harapannya, menimang cucu laki-laki, telah hancur berantakan. Bukan itu saja. Ia menangis sejadi-jadinya karena sadar kalau anak gadisnya yang baru jalan tujuh belas itu bahkan, akan semakin menjadi laki-laki.
"Dia sibuk mengurus negara!" jawabnya enteng menanggapi pertanyaan ibunya yang kesusu. "Mana bisa hanya mengurusi Fa Mulan seorang saja?!"
"Sibuk?!" Perempuan bernama Fa Li itu balik bertanya, mengerutkan kening, membentuk empat garis tipis pada dahinya. Ya, Dewata! Di matanya, perempuan itu tampak lebih tua dari usia Tembok Besar. "Tapi, sudah dua hari dia tidak ke rumah kita!"
"Dua tahun juga tidak apa-apa!" timpalnya dengan kalimat seringan gingkang. "Baru juga dua hari tapi Ibu seperti kebakaran kucir saja!"
"Eh, anak ini!" Dilihatnya kembali perempuan itu berkacak pinggang. Matanya semelotot ikan maskoki. "Ditanya...."
"Habis...."
"Kalau Ibu menanyai kamu, itu berarti Ibu peduli sama kamu! Itu berarti Ibu sayang sama kamu! Bukannya sok mengatur hidup kamu!"
"Iya, tahu!" Ia mendengus, melengos dengan rupa tidak senang. "Kapan Ibu tidak mengatur hidup saya?!"
"Eh, tega-teganya kamu bilang begitu kepada Ibu, ya?!"
"Memang dia lagi sibuk!"
"Mulan!" Perempuan separo baya itu menghela napas, matanya mendelik dan memejam hampir bersamaan. "Kalau ditanya, jangan membangkang begitu!"
Ia mengusap wajah. "Habis, saya harus bilang apa, Ibu?! Semua perkataan saya selalu salah. Apa-apa pasti salah!"
"Ingat, Ibu marah demi kebaikan kamu juga."
"Kebaikan apa kalau selama ini saya selalu merasa tersisih, disudutkan sejak dulu. Ibu memang tidak pernah bersikap adil terhadap saya!"
"Ibu mana yang tidak ingin melihat anaknya bahagia, Mulan?!"
"Oh, jadi apa yang selama ini Ibu lakukan untuk saya semata-mata demi membahagiakan saya?!" Ia membeliak, sedikit merasa gusar saat kenangan lama masa kanak-kanaknya yang terkekang oleh kelakuan seorang Fa Li mengiang kembali di benaknya. "Apakah kelakuan Ibu yang otoriter itu dapat dianggap membahagiakan hidup saya?!"
"Kamu terlalu naif menanggapi didikan keras Ibu!"
"Ibu bukan mendidik keras supaya saya disiplin, bukan itu! Tapi apa yang Ibu lakukan terhadap saya selama ini merupakan ketidakadilan. Ya, ketidakadilan!"
"Cukup, Mulan!" bentak perempuan itu. "Jangan mentang-mentang kamu sudah jadi orang dan pahlawan Yuan sehingga berani melawan Ibu!"
"Saya tidak melawan Ibu. Saya bukan membantah Ibu. Tapi saya hanya ingin Ibu membuka mata atas apa yang telah Ibu lakukan terhadap saya."
"Oh, Dewata nan Agung!" Dilihatnya dengan ekor matanya ibunya mendongakkan kepala, seperti menerawangi atap rumah untuk berbicara dengan Sang Penguasa Langit nun jauh di atas sana. "Beginikah hasil yang saya peroleh setelah bersusah-payah membesarkan anak ini?!"
"Sudahlah, Ibu. Jangan meratap-ratap seperti anak kecil begitu lagi. Percuma. Dewata tidak akan menggubris tangisan Ibu. Dewata pasti tahu kelakuan Ibu yang tiran sejak dahulu kala terhadap saya!"
Ya, Dewata!
Setiap hari perempuan bertubuh besar serupa guci air itu marah-marah. Seolah-olah seorang Fa Li sedang melakoni satu peran sebagai ibu tiri dalam sebuah opera. Dan seorang Fa Mulan adalah anak tirinya yang mesti ditimpali dengan amarah. Entah karma apa yang telah ditanamnya pada masa lampau sehingga menuai ironi di masa sekarang.
"Mulan! Tega-teganya kamu bersikap begitu terhadap Ibu!"
Dilihatnya perempuan separo baya itu berlari ke sudut ruang. Mengempaskan pinggulnya yang besar ke bangku, serta menelungkupkan kepalanya yang sebesar lampion ke atas meja kayu. Ia tersedu. Menangis sesenggukan tanpa airmata.
Ia mencibir dari belakang. Ibunya selalu begitu. Kalau sudah terdesak, maka ia pasti mengeluarkan airmata, meraung-raung seperti bayi. Lalu skenario berikutnya, ia akan menjerit-jerit dan memukul-mukul dadanya sembari menyebut sederet nama leluhur Keluarga Fa. Leluhur Keluarga Fa yang sudah mengembara ke alam baka. Leluhur Keluarga Fa dari generasi pertama sampai mutakhir.
Herannya, perempuan itu dapat menghapal ratusan bahkan ribuan nama berantropologi Fa! Jadi kalau sudah begitu pula, ia pasti mendengar seorang Fa Li merunut nama sesepuh Fa satu per satu, seperti malaikat penjaga kubur sedang membaca daftar nama orang yang sudah meninggal, yang antri hendak ke nirwana!
"Oh, para leluhur Keluarga Fa! Karma apa yang saya perbuat hingga putri kandung saya sendiri, Fa Mulan, berani menentang saya?! Oh, dosa dan kesalahan apa yang telah saya perbuat pada kehidupan yang lalu sehingga ditimpakan kesengsaraan ini?!"
"Sudahlah, Ibu! Tidak usah bermain opera begitu! Toh Ibu tidak bakal terpilih lagi sebagai protagonis. Sekarang, Ibu bukan lagi Dewi Purnama. Ibu sudah tua!" Perempuan itu semakin meraung-raung seperti bayi. Ya, Dewata! Entah apa yang harus ia perbuat kini. Rasa-rasanya, ia sudah tidak sanggup menghadapi tingkah kekanak-kanakan ibunya itu meski ia tahu, semua tingkahnya tersebut hanya pura-pura. Sekian belas tahun diakrabinya kelakuan tengil ibunya sehingga tahu aktualitas dan kebohongan yang hanya setipis sebilah rambut. Apologis dan pembantahan hanya akan merunyamkan masalah. Lalu pada akhirnya, bukannya menyudahi kelakuan tengilnya, perempuan itu malah semakin menjadi-jadi. Ia akan memukul-mukul papan meja dengan kedua belah telapak tangannya dan sesekali membentur-benturkan kepalanya di atas papan meja, pelan.
Ia tahu, akar permasalahannya bermuasal dari sini. Karena ia perempuan. Bukan laki-laki. Ya, Dewata! Sepele memang. Namun efek yang ditimbulkan dari genderisasi tersebut telah menjadikannya orang yang terbuang dari Keluarga Fa.
Seingatnya, nyaris tidak ada persoalan serius dalam keluarganya. Tetapi bagi ibunya, sebuah persoalan sepele apa pun yang menyangkut seorang Fa Mulan akan mendatangkan kiamat. Terlambat bangunlah. Cucian yang hilang di sungailah. Terlalu dekat dengan teman laki-lakilah. Sampai cara ia tertawa, berbicara, dan berjalan pun selalu mendatangkan kritik serta masalah!
Masih terngiang pula, sarat beban yang mesti dipikulnya sebagai seorang gadis yang beranjak akil-balig empat tahun silam sebelum ia menyusup dan menyamar sebagai laki-laki ke dalam kamp militer Yuan. Menikah di usia belia merupakan pilihan dan jalan satu-satunya dalam hidupnya sebagai seorang perempuan. Sebuah beban psikis yang tidak pernah dapat diterimanya dengan legawa.
Ia dibentuk untuk menjadi perempuan yang sesungguhnya . Ia ditempa untuk menjadi 'orang lain', yang manut pada aturan baku dan leluri. Namun jujur ia tidak bisa. Ia memberontak. Dan sengaja menggagalkan acara penjodohan dengan laki-laki pilihan ibunya-seorang pemuda dari puak terpandang atas perantara seorang makcomblang bernama Liem Sui Lang.
Lalu ketika semuanya lantak berderai, pembantahannya yang tanpa apologi tersebut ditimpali dengan seribu serapah. Ia dipukul dan diusir oleh ibunya dari rumah. Pembelaan untuknya justru selalu datangnya dari Fa Zhou, ayahnya yang lembut dan baik hati.
"Anak tidak tahu diri!"
"Sudahlah. Jangan menghukum Mulan sedemikian beratnya. Pernikahan tanpa didasari cinta bukanlah tindakan bijak. Mulan berhak menentukan pilihannya sendiri. Kalau dia belum siap menikah, sebagai orangtua, kita tidak boleh memaksakan kehendak. Biarlah jodoh Mulan diatur oleh Dewata. Bukannya kita!"
"Tahu apa kamu tentang Mulan, Fa Zhou!"
Ya, pada dasarnya ia tidak bisa berpura-pura menjadi orang lain. Ia tidak bisa menjadi perempuan kemayu yang ditingkahi feminitas palsu. Ia tidak bisa bersandiwara. Ia ingin menjadi dirinya sendiri. Ia ingin menjadi seorang Fa Mulan yang ceria dan dinamis, tidak diikat oleh sebuah pranata gender. Ia adalah seorang Fa Mulan yang enerjik, bukan gadis pendiam serupa arca yang hanya tahu mengurusi tetek bengek rumah tangga - melahirkan dan mengasuh anak, serta menjadi budak seks bagi sang Suami di atas ranjang.
Menurutnya, seorang gadis tidak mesti melulu berurusan dengan rumah tangga dan dapur. Banyak hal yang dapat dilakukan seorang gadis. Pasungan pranata telah melukai demikian banyak hati perempuan. Mereka mati perlahan-lahan dalam kurungan emas sangkar madu. Semestinya, seorang gadis tidak boleh dijajah lagi oleh adat istiadat yang meleluri. Seorang gadis harus memberontak. Seorang gadis harus merombak kultur gender yang sudah mendarah daging di Tionggoan.
Itulah sebabnya ia selalu diam-diam mempelajari ilmu silat keluarga Fa, satu hal yang amat tabu bagi kaum perempuan, Pedang Naga Fa dari kitab kuno karangan leluhur Keluarga Fa. Sebuah mustika terpenting yang disimpan ayahnya di salah satu tumpukan buku sejarah Keluarga Fa.
Dulu, ketika ayahnya berlatih wushu, ia selalu mengintip dari balik tembok ruangan khusus tempat latihan. Selang berikutnya, ia menghapal kemudian memperagakan ilmu silat yang dilihatnya diam-diam tadi di dalam kamarnya. Dikembangkannya beberapa jurus yang dianggap lebih dinamis. Setelah itu memperdalam lantas memperkaya salah satu jurus keluarga Fa, Telapak Fa yang dahsyat. Bahkan, juga menciptakan sendiri jurus-jurus baru. Di antaranya adalah Tinju Bunga Matahari yang gemulai tetapi bertenaga, dan Tinju Hong Terbang yang gesit dinamik.
Namun lepas dari semua itu, ia memang bukan gadis tipe calon ibu rumah tangga yang baik. Ia tidak memiliki fisik ideal seperti dambaan banyak lelaki. Ia tidak memiliki pinggul besar yang diyakini dapat memberikan banyak keturunan dan anak laki-laki kepada sang suami, seperti kultur orang-orang Tionggoan selama ini.
Pinggulnya kecil. Dadanya nyaris rata. Tidak ada sepasang bukit daging yang menggumpal menggiurkan, salah satu andil libido dan ereksi pada penis laki-laki selama ini. Tubuhnya terlalu kurus. Bahkan terlalu kerempeng sehingga menyerupai toya. Dan tingkahnya tidak gemulai layaknya gadis-gadis lain.
Ia sadar pula kalau ibunya pernah menyesali memiliki putri seperti seorang Fa Mulan. Ibunya tidak pernah bersikap manis kepadanya. Ibunya tidak pernah menunjukkan rasa sayang layaknya ibu sejati kepada anaknya yang tunggal. Tidak ada afeksi dari perempuan gemuk itu seperti dambanya selama ini.
Hanya ayahnya sajalah yang sangat mencintainya!
Hanya ayah pulalah yang sering memberinya semangat untuk tetap tegar setelah diantipati oleh ibunya. Juga ayahlah yang menghiburnya setelah gagal pada acara penjodohan beberapa tahun lalu itu.
"Bunga-bunga bermekaran pada musimnya. Namun, kadang-kadang ada bunga yang terlambat mekar pada saat itu. Tapi kelak bunga yang terlambat mekar tersebut akan menjadi bunga terindah. Ya, bunga terindah. Dan kamulah bunga itu, Mulan!"
Setiap mengingat kalimat subtil itu, Fa Mulan langsung menitikkan airmata haru. Ayahnya merupakan pahlawan dan guru terbaik dalam hidupnya. Karena itulah ia akan berbuat apa saja demi membahagiakan lelaki tua tersebut. Bahkan mengorbankan nyawanya sekalipun seperti yang telah dilakukannya empat tahun lalu. Saat itu ia menggantikan posisi ayahnya mengikuti wajib militer yang diamanatkan oleh Kaisar Yuan Ren Zhan dari Dinasti Yuan, agar seluruh keluarga di Tionggoan wajib mewakilkan seorang putra menjadi prajurit untuk menghadapi serbuan pasukan pemberontak Han yang sudah melintasi Tembok Besar. Juga gangguan-gangguan kaum nomad Mongol di perbatasan Tionggoan.
Dan apa yang dikatakan oleh ayahnya itu memang telah menjadi kenyataan. Ia telah menjadi pahlawan perempuan yang menyelamatkan Tionggoan dari kehancuran. Kaisar Yuan Ren Zhan generasi ketiga penerus Kekaisaran Yuan telah menganugerahinya gelar Prajurit Besar Yuan. Mengalunginya dengan sebuah Medali Naga yang terbuat dari emas murni. Itulah simbol dan penghargaan tertinggi yang belum pernah diperoleh siapa pun di Dinasti Yuan. Bunga yang terlambat mekar itu telah mengembang. Menyerbakkan keharuman yang tiada tara ke seluruh penjuru negeri Tionggoan.
Ketangguhan itu telah ditunjukkannya kepada ibunya. Bahwa seorang perempuan yang bernama Fa Mulan adalah bunga keluarga. Ia adalah berkah dari segala yang pernah dikutuk.
Ia adalah pahlawan.
Dan apa yang dikatakan oleh ayahnya itu memang telah menjadi kenyataan. Ia telah menjadi pahlawan perempuan yang menyelamatkan Tionggoan dari kehancuran. Kaisar Yuan Ren Zhan generasi ketiga penerus Kekaisaran Yuan telah menganugerahinya gelar Prajurit Besar Yuan. Mengalunginya dengan sebuah Medali Naga yang terbuat dari emas murni. Itulah simbol dan penghargaan tertinggi yang belum pernah diperoleh siapa pun di Dinasti Yuan. Bunga yang terlambat mekar itu telah mengembang. Menyerbakkan keharuman yang tiada tara ke seluruh penjuru negeri Tionggoan.
Ketangguhan itu telah ditunjukkannya kepada ibunya. Bahwa seorang perempuan yang bernama Fa Mulan adalah bunga keluarga. Ia adalah berkah dari segala yang pernah dikutuk.
Ia adalah pahlawan.