cerpen



Sore ini mestinya milik kita, Sasha
Tapi laut menculik mentari dari pelukan
Cakrawala memias tanpa rona
Camar-camar menjauh, menyisakan sunyi
Juga langit yang muram

Ujungpandang, September 1988


Untuk pertama kali aku menyusuri pantai dengan hati belah. Jajaran perahu nelayan kehilangan pesona. Panorama senja dan anak-anak pesisir pun menyingkir dari perhatian. Betapa pun mereka pernah kau himpun dalam rencana idealmu, meski kau tahu: alangkah susah mengubah nasib yang telah menjadi garis hidup mereka di perkampungan tepi laut ini.
Kira-kira di sini, lima tahun silam, mataku memandang punggungmu tanpa sengaja. Aku mengawasi tanganmu menari di depan kanvas, hanyut oleh ekspresi goresanmu. Sampai kau menoleh dan terkejut.
"Kau sungguh berbakat melukis," ujarku tulus.
Alismu terangkat, tak percaya. "Aku... aku hanya belajar," kudengar suaramu gugup. "Aku hanya memindahkan apa yang kulihat."
"Tapi gambarmu hidup," pujiku sungguh-sungguh.
"Dengan warna-warna mentah begini?"
"Tentu karena belum jadi. Nampaknya kau berlatih sendiri, ya?"
"Ya. Kusadari betul, dalam darahku tak mengalir bakat seni...."
"Kau berbakat!" sanggahku. "Kau paham tentang lukisan, sayang kalau tak dikembangkan. Ingin aku memperkenalkanmu pada Kak Yudhis."
"Kak Yudhis? Siapa dia?" Alismu nyaris bertaut.
"Dia pelatihku di Teater Merah Putih. Juga seorang pelukis yang memiliki sanggar. Kau bisa belajar melukis di sana."
"Sanggar?" Matamu membulat seketika. "Tidak!" gelengmu tegas, membuatku tercengang. "Melukis dalam sanggar akan menjadikanku mati rasa. Aku tak bisa menyaksikan matahari tenggelam, ombak yang pecah, dan burung-burung laut. Aku tak bisa bermain dengan anak-anak di sini, tidak bertemu belibis. Tidak! Jangan pisahkan aku dengan semua itu!"
Aku melihat biasan kaca di matamu. Dalam beberapa detik aku terpana. "Kau... kau begitu mencintai tempat ini rupanya," kataku berhati-hati.
Kepalamu mengangguk.
"Mengapa?"
"Tempat ini menenteramkan."
"Hanya tempat ini?" Tiba-tiba rasa ingin tahuku membuncah.
"Setidaknya bila dibandingkan dengan rumahku," suaramu tak acuh.
"Agaknya kau tidak bahagia di rumah." Aku sungguh tak pandai memelihara kesabaran.
Kau menoleh terkejut. Tapi pijar matamu kelam. Lantas kau buang pandangmu ke kaki langit yang jauh, dan bergumam tak jelas.
"Aku ingin mendengar ceritamu," aku penasaran. "Kalau boleh."
"Tentang mengapa tempat ini menenteramkan bagiku?" tanyamu.
Kuanggukkan kepala.
"Karena laut selalu membuatku tenang. Menerbangkan angan-angan."
"Kau pasti suka melamun."
"Ya," sahutmu tak mengelak. "Kalau punya masalah, aku membaginya pada ombak dan burung-burung, pada kanvas ini..." Ada kegetiran yang mengalir lewat pengakuanmu. "Meskipun masalah itu akan menyongsongku kembali begitu tiba di rumah."
"Kau...." Aku menatapmu lurus-lurus. "Kau menyimpan persoalan?"
"Banyak."
"Aku terkejut sekaligus gembira. Tidak setiap orang bisa secepat itu mempercayai orang lain. Apalagi belum saling menyebutkan nama. Tapi kau percaya padaku!
"Apakah persoalan itu menyangkut keluargamu?" tanyaku lebih jauh.
Kau menoleh, tersenyum pahit, lantas menggeleng tak yakin. Kuhela napasku hati-hati. Merasa sedang menghadapi sebuah 'puisi'.
"Kau lihat tembok rumah yang tinggi di sana?" Jarimu menunjuk ke dinding yang menjulang di belakang perkampungan nelayan.
Aku mengangguk penuh perhatian.
"Itu rumahku! Rumah yang megah!" Suaramu sinis. "Aku tidak suka tinggal di situ. Alangkah kontras pemandangan yang dihadirkannya. Beberapa langkah saja dari sana, kita menemukan gubuk-gubuk kumuh di sini."
Aku mengangguk lagi, membenarkan.
"Pernahkah penghuni rumah-rumah megah itu tahu apa yang terjadi tiap hari di sepanjang pantai di belakang istana mereka ini?" tanyamu dengan suara emosional. "Papa atau Mama tidak ingin tahu. Mereka hanya mementingkan diri sendiri. Mereka cuma tahu kehidupan di tepi pantai lain. Di Akai, Barata, Makassar Golden Hotel, Safari Park, dan sekitarnya. Mereka menutup mata, bahwa di belakang rumah mereka ada kampung nelayan yang miskin...."
Kuperhatikan matamu sungguh-sungguh. "Kau musuhi orangtuamu?"
Kau tidak mengangguk, juga tidak menggeleng. Sesaat matamu melamun, sebelum akhirnya berkata dengan suara serak. "Aku tak bisa membayangkan daerah ini di masa depan."
"Agaknya kau mengkhawatirkan sesuatu." Aku menatapmu lunak.
"Tanah tempat mereka mendirikan perkampungan itu, dulunya adalah laut. Mereka bersusah payah-payah menimbunnya dengan mengeruk pasir laut. Tahukah kau, ketika mereka melakukan pekarjaan berat itu seluruh tenaga dikerahkan, termasuk anak-anak kecil. Tapi, hasilnya bukan tidak mungkin sia-sia. Tanah yang seharusnya milik mereka tidak dilindungi Undang-undang, akan direnggut oleh orang-orang di rumah megah itu. Dan bila kelak tergusur, kita hanya akan menyaksikan lagi drama kemanusiaan yang mengharu-biru."
Saat itu, entah berapa banyak kalimat yang hendak kutuangkan tapi tertelan kembali. Aku hanya mampu memandang wajah ayumu dalam remang petang dengan perasaan ganjil. Aku ingin memperpanjang perbincanganku denganmu di waktu-waktu berikutnya. Aku tahu kamu memandang kecewa menghadapi kenyataan. Mungkin kau 'sakit'. Kau memandang duniamu hanya hitam dan putih, tentu oleh suatu sebab yang tidak sederhana.
Di senja yang lain, kutemui kamu sedang melukis di tempat yang sama. Lukisanmu senada, dan membuatku bertanya-tanya. "Kau begitu menyukai langit senja," usikku.
Tanpa merasa terganggu, kau menoleh padaku. Dalam kanvasmu kulihat ada sapuan nuansa hitam di bagian langit. Seolah-olah kau tidak jujur merekam obyek.
"Lukisan senjamu...." Kembali aku tak berhasil mengendalikan kesabaran. "Alangkah kelam."
Kau agak terperanjat, namun kemudian tersenyum. "Ini bukan lukisan senja. Ini lukisan kehidupan!"
Ada dua kalimat yang ingin kulontarkan. Pertama: kamu sudah mampu melukis di sanggar, jauh dari obyek. Tapi aku memilih yang kedua: "Kamu memiliki masa lalu yang muram?"
"Aku...." Matamu sedikit panik. "Aku tidak berkata begitu!" Tertangkap nada penyesalan. "Aku hanya mengibaratkan kanvas sebagai sebuah kehidupan. Kenyataan yang mengikuti ke mana aku melangkah."
"Itu yang membawamu ke pantai ini, bukan?" Aku memojokkanmu.
"Kau...." Suara dan matamu basah. Kau berbalik begitu cepat dengan bahu yang terguncang.
"Tunggu!" Aku melompat menggapai lenganmu. "Maafkan kelancanganku."
Bibirmu bergerak-gerak, namun tak sepatah kata pun terucap. Aku menyaksikannya dengan lara, turut merasa tersiksa. Sejenak kau menyapu wajahku dengan tatapan yang sulit kupahami. "Terima kasih. Kau telah sudi mendengar cerita tentang kampung nelayan ini."
Kau membereskan kanvas dan cat-cat minyakmu. Memasukkannya ke dalam kotak, lantas pergi meninggalkanku. Aku tergugu, justru karena telah mendengar sedikit perihal dirimu.
Tersisa sesal di dada lantaran pada hari-hari kemudian tak lagi kudapatkan kamu melukis di pesisir ini. Terus terang aku menemukan inti teater dari pertemuan kita. Bukan di sanggar Kak Yudhis. Rasanya aku kepergok sebuah puisi yang sukar, dan apresiasiku jadi buntu. Selanjutnya aku bahkan kehilangan puisi kesayangan itu. Dirimu!
Menantimu di tempat ini, dalam musik laut tak henti-henti, hatiku bagai digasak badai. Nyeri sekali. Makin hari rasa kehilanganku bertambah. Harapanku menjumpai seorang gadis duduk menggambar langit senja, tak kunjung nyata. Barangkali kau sakit. Atau marah? Sedang aku tak berani mencarimu ke deretan rumah megah itu.
Hari-hari menunggu itu akhirnya mencapai batas sabarku. Kenangan pertemuan denganmu mulai kulupakan. Hingga suatu hari, ketika kusampaikan surat ke rumah Tante Mei, tiga tahun sejak kukenal wajahmu.
"Kau...?" Bulat matamu bagai hendak terlompat. Tapi aku lupa padamu. Kudengar suaramu kecewa. "Kau tidak ingat padaku?" Bagaimana aku bisa mengingatmu jika hanya dua kali bertemu, juga tidak pernah kutahu namamu? Tapi kau mengingatku dengan baik!
"Rasanya aku pernah melihatmu. Tapi di mana?" tanyaku jujur.
Kau tersenyum. Begitu anggun, dan mau mengerti. "Pernah melihat lukisan kehidupan?"
Ya, Tuhan! Tak sengaja aku terpekik oleh ingatan yang lengkap. Garis-garis wajah serta jemari yang dulu selalu kulihat menggenggam batang kuas, membangkitkan kenangan dengan utuh. Ah, dulu kamu lebih temperamental.
"Kenapa tidak melukis lagi?" tanyaku kecewa.
"Sebab aku merasa tidak berbakat. Tiga tahun yang lalu kita masih sama-sama kanak-kanak. Penilaianmu hanya untuk menghiburku.
Aku hendak membantah, tapi matamu yang tajam menahanku.
"Aku punya bukti!" katamu seraya beranjak ke dalam. Kau bawa setumpuk lukisan dari kamarmu dan kau pamerkan padaku. Senja Satu sampai Senja Delapan. Katamu itu lukisan kehidupan! "Aku tak bisa menggambar obyek lain."
"Kau tidak mencobanya."
"Sudah."
"Mana hasilnya?"
"Kalau berhasil, tentu aku tak menolak kau sebut berbakat."
"Apa yang kau gambar?"
"Manusia."
"O," aku mengangguk. "Bocah-bocah nelayan maksudmu?"
Kamu menggeleng dan berpaling. "Kamu!"
"Aku?!" Seluruh isi dadaku rasanya ikut terhampar keluar.
Kau tersenyum, tenang luar biasa. Sementara aku kalang kabut tapi tak bisa mengatakan apa-apa. Tiga tahun tak melihatmu, membuatku kehilangan banyak. Kau jadi lebih dewasa dan pintar menyimpan gejolak. Tidak gegabah, tidak meledak-ledak. Kau semakin matang, terutama dalam mengungkapkan cinta. Siapa yang telah mengajarmu?
"Barangkali pengalaman, Raga." Tante Mei, adik ibumu, mengatakan padaku ketika aku gagal mengorek cerita dari mulutmu. Kamu terlampau tegar untuk membagi masa lalumu kepada orang lain. Bahkan tidak kepadaku: kekasihmu!
"Sasha adalah anak hempasan badai," ujar Tante Mei. "Pada usia dua belas tahun, orangtuanya bercerai. Enam tahun setelah itu pacarnya meninggal karena kecelakaan. Dia pindah kemari ketika sudah benar-benar benci terhadap suasana rumahnya. Ia anak tunggal yang malang...."
Daun-daun kering luruh dari ranting di depan jendela. Aku mengawasinya diam-diam. Kalau saja tidak memiliki kekuatan hati, nasibmu mirip daun yang gugur. Melayang tak tentu arah.
"Sasha berusaha melupakan peristiwa pahit itu dengan menyibukkan diri di kampus. Menjenguk kampung nelayan, bermain dengan anak-anak gelandangan. Mengunjungi panti wredha atau melukis di kamarnya. Tapi Raga, tak semua orang pintar menghapua jejak traumatiknya, bukan?"
Pendapat sahabat ibuku itu benar. Kewajibanku, tentu saja, menyediakan sekeranjang pengertian. Dan merebutmu dari hari-hari bersama kawan-kawan kecilmu. Karena aku mencintaimu.
Aku ingin berbuat apa saja demi kau. Tapi cinta bukan hanya dirasakan, melainkan juga dimanifestasikan. Aku ingin kita bisa saling mengerti. Aku ingin kamu membutuhkanku, seperti aku membutuhkanmu. Tapi, bagaimana mungkin bila kau mampu mengatasi segalanya? Kau hindari bantuan orang lain hanya untuk mendapat pengakuan bahwa prahara tak membuatmu terbanting.
Berada di dekatmu, aku tak ubahnya anak kecil. Kau terlalu kukuh dan karib dengan kesendirian. Sehingga seorang Raga tak lebih dari boneka, hanya teman bercakap sewaktu kau lepas dari kepungan bocah-bocah pesisir. Dua tahun percintaan kita berlangsung dengan aneh.
Salahkah jika aku mengungsikan kecewaku pada makhluk mungil yang tidak menganggapku patung? Di depan gadis manja yang mudah merengek, aku menjadi laki-laki sejati. Ternyata aku membutuhkan seekor burung yang lincah, genit, dan cengeng....
"Maaf, Sasha, semalam aku absen. Aku menemani Aline mencari perlengkapan busana untuk pementasan kami minggu depan." Aku meneleponmu Minggu pagi. "Kamu marah?"
Tawamu yang lunak terdengar di seberang. "Raga, sebaiknya jangan ganggu konsentrasimu dengan berpikir macam-macam. Pementasanmu sudah dekat...."
Untuk kesekian kalinya aku tidak berakhir-pekan di beranda rumahmu. Dan aku tetap gagal membuatmu marah, cemburu, atau merajuk. Hatimu terbuat dari pualam!
Kesabaran habis. Semula aku ragu akan kesungguhanmu ingin menata langkah yang sama bersamaku. Lambat laun aku merasa pasti: tak ada rongga hatimu yang patut kuhuni. Apalagi tatkala tangan yang menyalamiku pertama kali seusai pagelaran: bukan tanganmu!
"Selamat, Raga! Gelar The Best Actor Festival Teater tahun ini ada di tanganmu!" Aline menatapku dengan sepasang mata berbinar.
O, burung prenjak ini sangat memperhatikan aku. Ia laksana oase manakala sedang kulintasi gurun. Kuraih kepalanya, kucium keningnya di balik panggung. Dan aku mendengar suaramu.
"Raga."
Aku dan Aline menoleh bersamaan dengan sejumlah kaget. Ternyata hanya persoalan waktu. Engkau mencari ke belakang layar tentu hendak memberiku selamat. Dengan ketenangan menakjubkan kau tersenyum, mengulurkan tangan. "Proficiat!"
Suaramu tidak menyiratkan kemarahan, sementara aku hampir gila mendengarnya. Kau memandang Aline dengan hangat. "Ini gadismu, Raga?"
"Aline," Aline menyambut jabatan tanganmu.
"Aku Sasha, sahabat Raga." Kamu tersenyum manis sekali. Aku merasa pita suaraku tiba-tiba tak berfungsi. "Raga sering cerita tentang kamu." Kau sentuh pipi Aline seperti seorang kakak terhadap adiknya. "Jaga Raga baik-baik. Ia nakal, tapi hatinya baik." Kau tertawa lembut. "Nah, aku pergi dulu."
Bah! Sandiwara macam apa ini?
"Sasha!" Aku memekik memanggilmu tanpa peduli perasaan Aline. Aku melompat, mengejarmu dengan hati luluh-lantak. Sungguh mati, aku mencintaimu. Aku mencintaimu, Sasha. "Sasha!"
Di pintu gerbang pertunjukan, hanya dingin yang menyambutku. Kulihat sisa penonton yang menunggu kendaraan pulang, dan sebuah taksi yang tiba-tiba menjauh dari halaman parkir. Kakiku sulit dibawa melangkah, meskipun tahu persis bayangmu ada di balik kaca sedan yang sedang pergi.
Pada akhirnya aku mengambil sikap yang amat buruk: meninggalkan dunia teater justru ketika kuraih gelar terhormat sebagai pemain terpuji. Aku berpisah dengan Kak Yudhis, yang tentu sangat kehilangan. Aku hanya merasa gagal memelihara sebuah hati. Hatimu, Sasha! Yang kini menjadi 'Sri Panggung' dalam dimensi yang tak mengenalku lagi.
Engkau memainkan teater yang sesungguhnya. Pelupuk matamu menyipit, kadang membara, atau bahkan menatap kosong tanpa makna. Mulutmu meracau, sesekali tertawa sedih. Ucapan-ucapanmu semakin jauh, dan tak lagi tergapai oleh akal sehatku. Tungkai kakiku gemetar. Hatiku remuk dan membanjirkan darah. Aku ternyata bukan aktor yang baik. Perasaanku tak dapat dimanipulasi. Laki-laki akan tertawa dan menangis untuk satu kejadian saja. Sebab rasa yang dimiliki laki-laki: bugil bagai bayi. Maka aku menangis untukmu, Sasha. Betul-betul mengeluarkan airmata, yang berjatuhan membasahi catatan harianmu selama mencintaiku. Kalau kelak aku mampu jatuh cinta lagi, barangkali tak sedalam ini perasaanku.
"Kepundan itu meletus, Raga." Suara Tante Mei terdengar kering waktu itu. "Dia sudah tak sanggup lagi memendam lahar!"
Kupandangi wajah berduka itu dengan putus asa. Aku tidak membutuhkan kalimat penjelasan serupa itu. Aku justru memerlukan pernyataan dari orang-orang di sekeliling. Aku butuh keyakinan bahwa kamu, gadisku, bukanlah orang gila!
Astaga, aku mulai menggigil oleh angin laut yang basah. Matahari sudah lama menghilang. Suara ombak terus terdengar, seriuh lima tahun lalu. Tapi kini cinta telah berdebu dan segalanya kurasakan jauh berbeda. Tak kumiliki apa-apa lagi di pantai ini, kecuali sebuah kenangan yang menambah jumlah bersalahku dari tahun ke tahun. Tanpa engkau, Sasha, pengembaraan ini jadi semakin sunyi. Seperti debu yang sendiri.

Malam ini mestinya milik kita, Sasha
Tapi awan merebut rembulan dari kepungan bintang
Langit hanya jelaga, seperti jubah hitam dalam rimba
Anjing melolong di kejauhan,
giris luar biasa
Aku di sini: seperti debu yang sendiri....

Ujungpandang, September 1988









Peluit time out dibunyikan wasit di sisi lapangan. Pertandingan basket itu terhenti sejenak. Klub Rajwali yang menempati sisi kanan kelihatan agak tegang. Mereka sudah memimpin angka sejak awal pertandingan, namun klub lawan kini mulai mengejar.
"Arlan, kamu diganti dulu sama Cali," pelatih yang keringatnya hampir menyamai para pemain itu memberi instruksi sesuai dengan yang direncakanannya.
Arlan mengangguk. Ia mengambil tempat duduk di barisan untuk pemain cadangan. Matanya terarah ke sudut tribun penonton. Mencari sosok yang memporakporandakan konsentarasi bertandingnya tadi.
Cewek berambut panjang dengan blus biru itu tak ada lagi di tempatnya.
"Permainanmu kacau sekali, Lan," komentar Mas Aji yang tahu-tahu sudah duduk di sebelah Arlan. Ia agak senewen melihat permainan muridnya tadi. Tembakan three point yang biasa dihasilkan semuanya gagal.
"Janji deh, nanti kalo dipasang lagi nggak bakalan kayak tadi," timpal Arlan. Ia meneguk sebagian air minerlah miliknya.
"Pamit sebentar mau ke belakang ya, Mas."
Pelatih itu cuma mengangguk sambil tetap memandang ke tengah lapangan. Pertandingan kian seru.
Arlan berjalan cepat. Yang ditujunya bukan kamar kecil, ia malah menembus pintu ke luar. Matanya terus mencari-cari Cewek yang dilihatnya di tribun tadi. Kalo ia menghilang dari tribun itu mestinya ia pergi ke luar.
"Arlan! Kamu bukannya lagi bertanding? Kok di luar sih?" suara tanya itu mengejutkan Arlan. Seorang Cewek manis berambut sebahu mendekatinya.
"Aku lagi nggak kepake dulu. Ya, keluar cari angin sebentar kan nggak dilarang. Bagaimana rapat senatnya tadi?" Arlan teringat kesibukan Ratri sore ini.
"Agak tersendat dibandingkan sebelumnya. Makanya aku telat datang kemari," jawab Ratri. Ia menjajari langkah Arlan ke dalam gelanggang olah raga.
"Kamu duduk di sini saja. Biar nggak susah aku nyari kamu nanti. Eh, mau nunggu sampai aku pulang, kan?" tanya Arlan sambil membiarkan Ratri duduk di barisan paling depan.
"Iya. Asal kamu main bagus!" Ratri tersenyum.
Arlan kembali ke bangku cadangan bergabung dengan tim lainnya. Baru sepuluh menit kemudian ia sudah dipanggil lagi untuk mengisi lapangan. Sebuah tembakan three point diciptanya semenit kemudian.
Ratri terpekik girang melihat aksi Arlan. Matanya terus melekat pada sosok cowok itu. Bukan pada permainan basket yang sebenarnya memang tak pernah ia sukai.
***
Duduk di taman kecil depan perpustakaan kampus kerap dilakukan Arlan bila tak tahu apa yang harus dikerjakannya sambil menunggu kuliah berikutnya. Mengedarkan pandangan sambil melamun memang jadi keasyikan tersendiri buatnya.
Nggak jarang matanya tertumbuk pada sosok cewek cantik. Tapi hatinya buru-buru menyisihkan hasrat yang kemudian timbul. Sebuah nama di masa lalu telah menciptakan kenangan yang menggurat di hatinya....
Maharani jadi siswa baru kelas dua. Ia langsung populer dengan kecantikannya ditambah lagi mobil mewah yang bergantian mengantar-jemputnya. Banyak cowok berusahan mendekati, tapi semua harus puas dengan mimpi mereka saja tanpa berhasil mewujudkannya. Sementara sebagian dari mereka mimpi pun sudah tak berani, termasuk Arlan yang duduk di belakang Rani.
Sampai suatu siang sepulang sekolah, sewaktu Arlan hendak menghidupkan motornya.
"Arlan, mau nolong aku nggak?" suara Rani mengejutkannya.
"Asal aku sanggup."
"Aku harus buru-buru ke rumah. Tapi jemputanku belum datang juga. Aku...."
"Mengantarmu dengan motorku ini? Apa kamu nggak risih?"
"Sudahlah. Mau apa nggak?"
Arlan langsung menyambar helm yang tergantung di stang motor di sebelahnya. Ia menyodorkan helm itu kepada Rani. "Ayolah. Tapi kalo kamu masuk angin aku nggak tanggung," Arlan menghidupkan motornya dan membiarkan membonceng.
Ternyata itu jadi sebuah awal dari jalinan manis antara mereka. Beberapa kali Rani membonceng Arlan. Sampai akhirnya Arlan merasa perlu mengungkapkan isi hatinya.
"Kamu mau jadi pacarku, Ran?" tanya Arlan sehabis mengajak Rani menyaksikan pertandingan basket antarkelas.
Rani mengangguk dan tersenum. "Tapi dengan syarat kamu jangan sampai datang ke rumahku," katanya kemudian.
"Kenapa?"
"Papa melarangku pacaran."
"Backstreet juga okelah," angguk Arlan mantap. Siapa tahu waktu mengubah hal itu.
Tapi waktu tak pernah memberi kesempatan untuk mengubah hubungan mereka menjadi lebih baik. Lima bulan berlalu tetap saja mereka harus pacaran umpet-umpetan. Malah tiba-tiba waktu mengubahnya menjadi amat pahit.
Arlan membonceng Rani sepulang sekolah. Dan kecelakaan yang tak pernah diinginkan siapa pun itu terjadi. Arlan lukan gores di tangan dan kaki. Tapi Rani sampai gegar otak.
Langit buat Arlan benar-benar runtuh kemudian. Rani menghilang entah ke mana. Usaha yang dilakukannya cuma membuat panjang kepedihannya.
Rani....
Arlan tersentak dari lamunannya. Sekelebat ia melihat bayangan punggung seorang cewek. Ia berambut panjang. Dan gaun biru yang dipakai itu sama persis dengan gaun yang dibelikan Arlan di hari ulangtahun Rani yang ke tujuhbelas.
Arlan berlari mengejar sosok itu ke dalam perpustakaan. Tapi di pintu masuk langkahnya tertahan.
"Arlan, aku cari-cari kamu dari tadi," Ratri langsung mendekatinya. "Bagaimana dengan final invitasi antarklub itu?"
"Jadi besok malam. Kamu mau nonton?"
"Kebetulan nggak ada kegiatan. Sudah makan siang? Ke Gelael yuk. Lapar, nih."
Arlan menurut saja. Sulit untuk menolak setiap ajakan Ratri. Cewek ini memang seperti hampir kebanyakan anak orang berada, semua kemauannya harus dipenuhi. meski Ratri berusaha menutupinya dengan berorganisasi di senat, sifat manja itu amat dirasakan Arlan. Tapi lepas dari itu semua, Arlan lagi-lagi harus bersyukur bisa dekat dengan cewek yang diincar banyak temannya. Seperti dulu seperti Rani....
Arlan mendesah mengingat nama itu. Dan siapakah cewek bergaun biru itu?
"Kamu kelihatan gelisa, Lan?" tanya Ratri.
"Nggak apa-apa," sembunyi Arlan.
"Sungguh?"
"Sungguh." Arlan menatap bola mata Ratri agar lebih meyakinkan. Dan hatinya senantiasa bergetar usai menatap binar bola mata itu. Binar itu mirip sekali dengan milik Rani.
Mereka masuk ke Lancer merah Ratri. Sambil menghidupkan mesin Ratri berujar, "Dulu kamu pernah cerita SMA kamu, SMA 5, kan?"
"Iya. Lumayan ngetop di Bandung sini. Kalo SMA di Jakarta barangkali bisa disamain dengan SMA kamu itu."
"Biasanya sekolah ngetop pada cakep-cakep ceweknya," lanjut Ratri
"Memang."
"Masak sih, kamu benar-benar nggak punya pacar di sana?"
Arlan tak menjawab. Ia memang selalu berupaya merahasiakan jalinan cintanya dengan Rani.
"Pasti kamu pernah patah hati ya, sampai akhirnya kebawa ke masa kuliah. Patah hati sih boleh aja, asal jangan jadi dingin, Lan."
"Dingin?"
"Lho, kamu nggak ngerasa kalo kamu tuh cowok yang dingin. Nggak pernah ngobrol dengan siapa pun di kampus selain aku. Mainnya aja cuma sendirian di taman perpustakaan."
Arlan cuma tersenyum. Ia yakin Ratri tengah memancingnya untuk cerita soal masa lalunya. Sudah sering Arlan membaca gelagat itu. Belum, belum tiba saat untuk itu semua, Arlan membatin.
***
Nggak tahu, sampai berapa lama lagi kau bisa bertahan begini. Mencari, menunggu, mengejar bayanganmu yang hilang entah ke mana. Sementara sisi hatiku telah hampa begitu lama. Akankah kamu salahkan aku bila saat ini sebuah nama hadir mengisi kehampaan itu? Nggakkah kamu akan merutukku tak setia dan mengutukku agar mengalami luka itu lagi?
Kalo saja nggak kulihat lagi kelebat bayangmu belakangan ini, aku sudah memasukkan namanya pada hari-hariku. Dan bila bayangmu itu tak juga dapat kuraih, akan kuakhiri penantianku ini....
Arlan menutup buku catatannya. Buku yang isinya melulu tentang Rani dan sejuta harapan yang menggurat di hatinya. Hampir dua tahun penantian itu terjadi.
Ia beranjak untuk bersiap ke gelanggang olahraga. Rani... Ratri... nama itu terus mengiringi desah napasnya. Satu sisi hatinya ingin agar Arlan segera memberi kepastian kepada Ratri tentang hubungan yang mereka jalin. Sementara sisi lain hatinya justru ingin mempertahankan kasih Rani.
Briefing yang diberikan pelatih menjelang pertandingan final invitasi antarklub bola basket se-Bandung nyaris tak digubris Arlan. Begitu masuk ke sisi lapangan matanya langsung mengitari tribun penonton.
"Nyari pacarmu, Lan?" usik si Jangkung, Oki.
"Sembarangan. Ratri bukan pacarku," kilah Arlan.
"Tapi setia banget, ya. Cuma kali ini kayaknya telat lagi."
Arlan cuma nyengir. Bangku yang biasa diduduki Ratri sudah diisi orang lain. Tapi bangku di sudut lain itu masih kosong. Tempat favorit Rani bila menyaksikan Arlan bertanding.
Priit. Peluit wasit memanggil peserta berbunyi. Arlan bersama timnya langsung memenuhi lapangan. Rebutan bola segera dimulai seiring tiupan peluit.
Lawan kali ini cukup tangguh. Lima menit pertama nyaris dilalui Arlan hanya dengan mengover bola. Baru kemudian akhirnya ia mendapat bola tanpa dihadang. Ada kesempatan untuk menciptakan three point. Cuma saat bola itu diangkat mata Arlan menangkap sosok cewek bergaun biru di tempat duduk kosong itu. Tempat yang sama diduduki cewek itu saat babak penyisihan lalu.
Lemparan bola Arlan tak sampai ring, untungnya sempat diraih Tio. Tapi peluit wasit berbunyi lantaran pelatih klub Rajawali meminta time out.
"Konsentrasimu kacau sekali, Lan!" hardik Mas Aji saat timnya mendekat.
"Sori, Mas. Diganti dulu deh," usul Arlan.
"Pacarnya belum datang sih, Mas," celetuk Tio.
Mas Aji setuju. Ia memanggil Alford yang tingginya 185 senti. Pertandingan dimulai lagi.
Arlan langsung mengarahkan pandangannya ke tribun penonton di seberangnya. Agak sulit juga untuk menyidiki wajah cewek yang masih terduduk di sana itu. Apalagi wajahnya menunduk, seolah tahu sedang diamati Arlan.
Cewek itu beringsut ke pinggir dan berjalan cepat meninggalkan tempat duduknya. Arlan reflek berdiri.
"Mas, saya pamit ke belakang sebentar," izin Arlan.
"Dasar beser! Baru main beberapa menit!"
Arlan bergegas mengayunkan langkahnya. Cewek itu pasti keluar. Siapakah dia? Ranikah? Mengapa begitu misterius?
Sampai di ambang pintu keluar, Arlan masih sempat menangkap kelebat bayangan cewek itu menuju tempat parkir mobil. Arlan menyusul. Tapi napasnya tertahan sewaktu melihat cewek itu meluncur dengan Katana biru.
"Arlan!" suara khas itu mengejutkan Arlan.
Ratri baru hendak keluar dari Lancernya.
"Jangan turun. Antar aku," Arlan langsung menyerbu masuk ke dalam mobil. Suatu kebetulan yang menguntungkan.
"Ada apa ini?" Ratri bingung melihat Arlan panik.
"Kamu lihat Escudo tadi, kan? Tolong disusul."
"Orang di dalam mobil itu beberapa kali menguntitku. Aku penasaran. Kurasa kita belok kiri, Rat. Nah, itu mobilnya!" Arlan mengarahkan jarinya ke depan, nyaris menembus kaca.
Mobil yang mereka kejar melaju kian kencang, masuk ke jalan agak besar. Ratri membelokkan mobilnya tiba-tiba. Arlan tercengang.
"Kenapa membelok, Rat?" tanya Arlan.
Ratri tak menjawab. Ia malah membawa mobilnya ke jalan yang agak sepi sampai akhirnya ke pelataran parkir sebuah kompleks pemakaman umum. Suasana hening menyergap mereka.
"Ada yang ingin kuutarakan padamu, Lan. Barangkali aku terlalu lancang...." Ratri menggantung kalimatnya, menunggu reaksi Arlan.
Tahu Arlan hanya membisu, Ratri keluar dari mobil. Tubuhnya lantas bersandar pada badan mobil. Arlan dihinggapi sejuta tanya. Belum terpecahkan persoalan yang satu, sudah muncul soal lainnya.
"Barangkali aku harus menceritakannya dari pertama padamu," Ratri membuka mulutnya lagi. "Dimulai dari perkenalan kita. Terus terang kamu langsung menyita perhatianku begitu kukenal. Tentu saja aku punya batasan untuk mengungkapkan perasaanku itu."
Arlan merasakan hal itu.
"Cara yang kulakukan untuk menarik perhatianmu kupikir sudah tepat. Tapi rupanya ada selubung misteri yang menutupi hatimu. Segala upaya kulakukan untuk memancingmu, tapi kamu seperti enggan membukanya. Katakanlah, kenapa, Lan?"
"A-aku... aku tak bisa menceritakannya...."
"Kurasa kini memang tak perlu lagi, Lan. Waktu yang membelaku memberitahukan itu semua. Satu bulan lalu aku main ke tempat Oom-ku. Kutempati bekas kamar sepupuku. Tanpa sengaja aku menemukan tempat rahasia menyimpan buku harian sepupuku itu, Lan. Isinya banyak bertutur tentangmu dan cerita cinta rahasia kalian berdua...."
"Rani? Dia sepupumu? Di mana dia sekarang?"
"Setahun yang lalu dia telah meninggalkan kita," nada suara Ratri melemah.
Arlan mendongakkan kepalanya ke langit. Gara-gara kecelakaan itukah?
"Kamu tak perlu merutuki dirimu sendiri, Lan. Tanpa kamu ketahui, sebenarnya kesehatan Rani memang rapuh. Itu sebanya Papanya amat ketat mengawasi. Ada kanker di otaknya. Dulu pernah dioperasi di Belanda, tapi kemudian tumbuh lagi. Operasinya yang kedua gagal."
Arlan menahan airmata yang hampa keluar.
"Setelah tahu itu semua, aku masih bersabar diri, Lan. Aku ingin satu bentuk kejujuran darimu. Sebagai orang yang dekat, tadinya kupikir kamu mau mengungkapkan itu semua. Tapi harapanku sia-sia. Dan itu menimbulkan ide gila untuk menganggumu...."
"Cewek bergaun biru itu?"
"Ya, cewek itu bagian dari permainanku. Tapi ternyata aku tak sanggup untuk erus mempermainkanmu. Tuntutan untuk jujur kepadamu amat menyiksaku," Ratri berupaya untuk tetap tegar mengeluarkan kata-katanya.
"Kamu...."
"Apa pun pandanganmu padaku saat ini akan kuterima. Tapi beri aku kesempatan untuk mengantarkanmu melihat makam Rani," Ratri mulai tak kuat menahan isaknya. Ia tahu resiko apa yang paling berat yang akan diterimanya. Bisa saja Arlan membencinya lantas menjauhinya tanpa secuil maaf.
Tanpa diduga Arlan malah merengkuh Ratri ke pelukannya. Tentu saja isak Ratri makin tak terbendung. Ia tumpahkan gundah yang mengganjal perasaannya selama ini.
"Aku yang salah, Ratri. Aku bukan cuma nggak jujur pada hatiku sendiri. Aku telah mendustai banyak hal. Kesalahanku amat banyak. Aku harus menebus sakit hati yang kubuat padamu. Aku... mencintaimu, Ratri. Sesungguhnya perasaan itu timbul sudah lama. Tapi aku terlalu takut menghadapi resiko. Aku takut gurat luka yang ada di hatiku menganga lagi," tutur Arlan sambil mengusap uraian rambut Ratri.
Ratri mengangkat mukanya. Jarinya menghapus airmata yang masih keluar. "Sebaiknya kita segera ke makam Rani. Berdoa sejenak di makamnya barangkali akan menenteramkan hati kita berdua. Lagipula, kamu kan harus kembali bergabung dengan timmu itu," kata Ratri kemudian.
Arlan terperangah. Ia baru menyadari dirinya masih memakai kostum klub basketnya. Segera dirangkulnya bahu Ratri dengan tangan kanannya.
"Ayolah, kita bergegas. Mudah-mudahan aku masih sempat membuat three point. Tembakan itu akan kubuat spesial untukmu," ucap Arlan dengan kelegaan yang tiada tara. Entah ke mana larinya selubung yang menutup rapat hatinya. Entah ke mana hilangnya gurat luka itu. ©





Badai dan kabut yang berbaur membuat suasana kian mencekam. Vita berusaha menerobos tantangan alam itu cuma dengan lampu senter kabutnya. Ia nggak peduli air hujan yang sudah menyelusup flanelnya, melewati raincoat kuningnya. Ia harus buru-buru sampai ke arah suara ribut di lembah gunung yang ditapakinya.
"Vita, syukur elo sampai juga! Kita harus segera membawanya turun," Arief menunjuk seorang peserta pendidikan dan latihan dasar yang terbaring.
Bibir cowok itu tampak kelu, sesekali bergetar seperti hendak meneriakkan kesakitannya. Vita langsung menggigit bibirnya sewaktu memeriksa perut cowok itu yang membiru. Ternyata ia tak cuma dehidrasi, tapi juga infeksi lambung.
"Cepat bawa turun! Seharusnya kalian mggak perlu menunggu komando gue! Cepat!" Vita berteriak lantang.
Tenggorokannya yang kering kehausan membuat Vita terjaga dari tidurnya. Rupanya bayangan itu telah membuat keringatnya keluar berlebihan. Diliriknya sebentar jam beker di atas meja. Sebentar lagi pukul enam pagi.
Vita mengusap rambutnya ke belakang. Diteguknya air putih yang biasa ia siapkan di atas meja. Masih agak malas Vita meninggalkan kamar. Ia memandang sederatan foto yang memadati dinding kamar.
Matahari terbenam di pantai selatan, sunrise di puncak Gunung Slamet, kawah putih Gunung Patuha, sampai riak Danau Segara Anakan di Rinjani. Semua menjalin keindahan di balik petualangan yang dilakukan Vita.
Mana mungkin gue ninggalin ini semua, Vita membatin.
"Mbak Vit, ada telepon!" teriak lantang dan ketukan pintu yang dilakukan Deza memaksa Vita segera meninggalkan kamarnya.
"Lain kali nggak perlu teriak-teriak begitu, Za!" hardik Vita kesal.
"Kirain Mbak Vita masih tidur."
Vita bergegas ke ruang tengah setelah sekali lagi memelototi adiknya. Diambilnya gagang telepon yang digeletakkan di atas meja kecil.
"Vita di sini. Dengan siapa nih?" sapa Vita seperti biasanya.
"Yola. Ada berita penting, Vit. Kayaknya kami nggak bisa ngajak elo ke Pantai Pangumbahan lusa," suara Yola terdengar ragu.
"Kenapa? Jangan mentang-mentang gue kena skorsing kampus lantas kalian jauhi. Acara kali ini di luar kegiatan klab kita, kan?" sewot Vita.
"Semalam Rob datang ke markas. Dia nggak ngizinin kami ngajak elo."
"Kenapa? Apa alasannya?"
"Dia nggak jelasin apa-apa. Sebaiknya elo temui Rob aja. Sudah ya, Vit!" Yola buru-buru meletakkan horn-nya. Ia nggak mau kebagian getah atas kesewotan Vita.
Usai mengembalikan gagang telepon ke tempatnya, Vita langsung menutup mukanya dengan telapak tangan. Ia masih belum mengerti dengan rentetan kejadian yang tak menyenangkan hatinya.
Diawali saat ia menjabat komandan lapangan pendidikan dan latihan dasar pada kelompok pecinta alam di kampusnya bulan lalu. Vita tak menyangka cobaan yang harus dihadapinya begitu berat. Salah seorang peserta meninggal akibat dehidrasi dan infeksi lambung saat berada di medan. Peristiwa itu membuat rektorat menskoring ketua panitia dan komandan lapangan selama satu semester. Buntutnya, Papa dan Mama, yang memang sejak semula tak mengizinkan Vita menjadi petualang, membuat pilihan untuknya, tetap berpetualang atau tak pernah menginjak lagi rumah ini.
"Maaf, teman-teman, kali ini gue benar-benar akan berhenti. Ini keputusan orangtua gue, kecuali gue bisa menawarnya suatu saat nanti," cetusVita di depan teman-teman klabnya, tiga minggu yang lalu.
"Gue nggak pernah percaya pada burung camar yang bilang bakal berhenti terbang, padahal belum seluruh pantai dia jelajahi," celetuk Dion, si rambut gondrong.
Vita cuma mengangkat bahunya. Ternyata apa yang dikatakan Dion tak keliru. Ia tak betah melewati hari-harinya begitu saja tanpa cerita-cerita petualangan. Maka saat ia mendengar beberapa temannya akan memburu matahari tenggelam di Pantai Ujung Genteng lantas membantu pelepasan penyu ke laut di daerah Pangumbahan, ia buru-buru mendaftarkan diri dalam rombongan.
Dan kini Rob menghalanginya.
"Mbak Vita, minggu depan aku pinjam peralatan hiking-nya ya," suara Deza membuat kepala Vita terdongak.
"Buat apa? Kamu pengen ikut-ikutan kakakmu ini. Memangnya sudah punya izin dari Papa dan Mama? Mendingan kamu sibuk dalam organisasi kayak Mama dan Papa. Mereka nggak pernah suka anaknya naik gunung atau nyusurin pantai!" Mulut Vita terkunci mendadak. Ia baru sadar Mama sedang berdiri di dekatnya sewaktu Deza mengedipkan mata.
"Mama dengar kamu akan jalan-jalan lagi," ucap Mama sambil duduk di dekat Vita. Kalau di hari Minggu pakaiannya serapi itu sudah bisa ditebak Vita. Pasti Mama akan pergi dengan Papa ke pertemuan suatu yayasan sosial.
"Pasti dari Rob?" terka Vita.
"Semalam waktu kamu dan Deza ke bioskop sampai larut malam, Rob datang ke sini. Dia menunggu kamu cukup lama," tutur Mama.
Dan selama menunggu kedatanganku, Mama mencekoki Rob dengan banyak hal, tebak Vita dalam hati. Dapat dibayangkan cara Mama membujuk Rob agar membantu seorang Vita menjauhi gunung. Mama dengan lihai memilih kalimat dan berbagai cara agar Rob bisa mati-matian mencegah Vita pergi ke Pantai Pangumbahan.
"Rob anak yang baik. Mama senang kamu akrab dengannya. Dia juga merencanakan untuk menghentikan hobinya naik gunung dan semacamnya itu."
Vita terhenyak. Nggak percaya. Bagaimana mungkin si Macan Gunung itu berikrar sedemikian rupa? Apa komentar anggota klab pecinta alam yang lain di kampusnya bila mendengar hal ini? Pasti Mama telah menghasut Rob habis-habisan!
"Lho, mau ke mana kamu?" tanya Mama melihat Vita yang sedang diajak bicara malah berdiri. Padahal ada satu hal yang teramat penting yang masih ingin disampaikan kepada Vita.
"Vita mau menemui Rob, Ma."
"Rob janji akan ke sini siang ini."
"Vita ingin menemuinya pagi ini juga," tegas Vita.
***
"Selamat pagi, Vit!"
Vita cuma terdiam di ambang pintu kamar kos Rob. Ia pandangi pundak kukuh di depannya. Mestinya sejak setengah tahun lalu ia sudah bisa bersandar di pundak itu bila hatinya galau seperti saat ini. Tapi Vita masih riskan melakukannya.
"Masuklah. Gue ke rumah semalam," ujar Rob.
"Sebelum atau setelah kamu datang ke markas, memaksa teman-teman kita untuk melarang gue pergi bareng mereka?" tanya Vita setelah duduk di salah satu kursi.
"Gue lakuin itu untuk kebaikan kita semua," jelas Rob. Ditatapnya mata tegar gadis di depannya. Mata seekor camar.
"Elo terlalu berlebihan, Rob. Gue pikir itu percuma. Gue tetap akan pergi."
"Sekalipun nyokap nggak kasih izin?"
"Gue nggak akan minta izin," sahut Vita.
"Terserah elo kalau memang demikian. Gue tetap megang amanah nyokap elo. Karena elo tetap bersikeras melanggar ikrar elo dulu, maka jangan salahin kalo gue ninggalin elo," ancam Rob datar.
"Rob!" Vita tak percaya kalimat itu akan dilontarkan Rob. Pengorbanan cinta dan hobi Rob untuknya benar-benar mengada-ada, seperti keputusan pemuda cengeng belasan tahun.
"Gunung, pantai, camar... semua pun akan kutinggalkan," susul Rob samar. Ia menyembunyikan alasan kuat yang mendorongnya mengucapkan semua itu. Satu-satunya yang ia inginkan, Vita mengurungkan niatnya kembali berpetualang.
Vita berdiri buru-buru. Sebelum meninggalkan kamar Rob ia masih sempat berkata, "Baik, Rob, kalau itu keputusan elo. Gue hargai. Tapi gue harap elo nggak nyesel dengan keputusan yang tergesa-gesa itu!"
Entah berapa kerikil yang ditendang Vita dalam perjalanan pulang ke rumah.
***
Masih terlalu gelap sebenarnya untuk ke luar tenda. Vita yang mulanya ingin mengawali pagi ini dengan menapaki pantai taman laut Ujung Genteng memilih tempat lain di sebelah barat. Didudukinya bibir dermaga kecil Belanda yang tinggal puing-puing.
Angin pagi yang berhembus membuat Vita menyipitkan matanya. Mata yang masih lelah karena semalam ia tak cukup tidur.
Tadi malam untuk kedua kalinya tidur Vita menyajikan ulang peristiwa satu bulan yang lalu. Ia bangun dari tidurnya dan menafsirkan maksud alam mengulangi mimpi itu.
Apakah ini semata-mata karena kegelisahanku? Vita membatin. Karena aku telah melanggar ikrarku sendiri? Karena Rob meninggalkan aku?
Sejujurnya, Vita memang nggak tenang sejak keberangkatan kemarin subuh. Berangkat dari rumah, ia membawa beban batin atas pelanggaran ikrar yang dibuatnya sendiri. Vita belum tahu apakah Mama dan Papa akan mengusirnya begitu mereka tahu putrinya kembali berpetualang.
Lalu Rob. Teman-temannya seperti tahu kejadian yang dialaminya bersama Rob. Mereka memandang Vita dengan mata menyalahkan. Vita sudah berusaha meyakinkan teman-temannya bahwa mereka harus menghargai keputusannya.
"Pokoknya kalian nggak perlu pusing-pusing mikirin aku dan Rob. Soal Rob kemudian berhenti berpetualang itu juga urusannya. Siapa tahu itu cuma gertak sambalnya. Kita semua tahu kan, bagaimana gilanya ia naik gunung. Dan soal aku sendiri, kalau ada apa-apa yang terjadi denganku, aku akan menanggungnya sendiri. Nggak perlu kalian merasa bersalah," tutur Vita panjang lebar.
Vita cuma yakin ia tak akan apa-apa pergi tanpa Rob. Walau kemudian pada perjalanan baru menyadari bahwa ia merasa kehilangan seseorang yang selalu menemaninya berpetualang. Mati-matian ia menepis perasaan kehilangannya.
Vita memandang sekeliling pantai. Ia berharap perjalanannya kali ini tak diganggu beban apa-apa lagi. Dihirupnya udara pantai segar. Matahari mulai menebarkan cahayanya, menyibak keindahan pantai.
Vita ingin sekali sesekali membawa Mama dan Papa ke pantai atau gunung. Agar mereka dapat mengerti mengapa Vita begitu menyukai gunung dan pantai. Keindahan alam itu tak bisa ia bawa ke rumahnya cuma dengan foto belaka.
Dilihatnya di kejauhan Dion dan Akuy tengah membawa kakap merah hasil belian dari nelayan. Vita bermaksud meninggalkan dermaga menuju taman laut. Tapi mendadak Akuy menyodorkan HP-nya. Rupanya sinyal portal yang dipakai Akur lumayan kuat juga.
"Vit, elo harus pulang!" suara Rob.
"Kenapa? gue baru sehari." Vita bingung.
"Mama meninggalkan kita kemarin sore...."
***
"Teruskan saja petualanganmu, Vit. Lupakan larangan Mama. Sesaat sebelum pergi, Mama sudah menyadari kekeliruannya melarangmu berpetualang. Papa juga tak berhak melarangmu."
Itu kalimat yang dilontarkan Papa saat menyambut kepulangan Vita ke rumah. Hati Vita semakin giris karena kalimat itu terus membayanginya saat ia bersimpuh di makam Mama.
"Maafkan Vita, Ma," Vita bergumam dengan mata basah. Tangisnya sudah habis dalam perjalanan pulang. Ia merasa ada setumpuk dosa yang menghimpitnya. Bagaimana mungkin putri satu-satunya melewati upacara pemakaman yang sakral itu.
"Nggak usah nangis, Vit," pinta Rob halus. Ia memberi kekuatan pada Vita dengan genggaman tangannya.
"Mengapa elo nggak segera nyeritain soal penyakit Mama kalo elo emang udah tahu, Rob?" sesal Vita tanpa maksud menyudutkan Rob.
"Mama yang meminta agar gue nggak ngasih tau. Mama nggak ingin kelihatan lemah di depanmu. Gue pikir, ketegarannya menurun pada elo, Vit."
Vita termangu. Siapa yang menyangka jantung Mama sudah rapuh, padahal sehari-hari ia tampak sehat dan penuh aktivitas. Kalau saja ia tahu sebelumnya, Vita akan terus berada di sisi Mama.
"Elo akan meneruskan petualanganmu, Vit?" usik Rob.
Vita menggeleng. "Gue bisa ninggalin hobi gue itu, asal elo janji nggak ninggalin gue, Rob," kata Vita.
"Gue janji!"
Tanpa ragu-ragu Vita menyandarkan kepalanya di bahu Rob. Sejak pagi tadi di pantai Ujung Genteng, ia menyadari betapa berartinya bahu Rob saat kegalauannya hadir. Pada sosok Rob, Vita akan membawa akhir semua petualangannya.
Vita dan Rob meninggalkan makam yang masih gembur itu. Senja telah larut ditelan malam. Vita berdoa dalam-dalam agar dukanya turut larut bersama senja. ©